Saya melihat suatu skenario Darwin sedang terjadi
pada pendidikan tinggi di Indonesia. Perguruan tinggi yang kuat semakin kuat,
diprediksi akan terus bertahan dan yang lemah semakin lemah, diramalkan akan
menemui kematiannya. Ini bukan dalam arti kontestasi, di mana satu dengan yang
lainnya saling meniadakan, tapi faktanya adalah serbuk serumpun dan asyik
dengan al-mamater sendiri.
Sumber daya manusia kampus pastilah diisi oleh
alumni sendiri dan sangat jarang berasal dari luar. Paradigma ini sudah menjadi
konsensus diam perguruan tinggi di Indonesia. Homogenitas ini menciptakan suasana
kampus yang relatif stabil, karena diisi oleh sumber daya manusia milik sendiri
dengan kualifikasi sesuai dengan standar almamater tersebut. Sangat beruntung
kampus yang memiliki alumni
dengan kualitas tinggi, maka dipastikan kampusnya
akan semakin kuat.
Fenomena ini tentu tidak menguntungkan bagi
kampus-kampus yang relatif belum baik standarnya, sementara mereka juga
terjebak latah mengikuti budaya serbuk serumpun ini. Walaupun terjadi proses
yang stabil dan tenang di dalamnya, tetapi mereka tidak bisa menghindari suatu
kondisi garbage in garbage out. Pada mereka ini terjadi siklus involusinya
Clifford Geertz, berputar-putar, tidak bisa melakukan banyak inovasi dan
ekspansi, hanya untuk survive dan merasa sudah
melakukan banyak hal. Padahal, energi hanya
dihabiskan untuk melakukan hal-hal rutin teknis dan formal belaka. Bahkan,
banalitas politik lebih mendominasi kampus, ketimbang kegairahan akademis.
Mari kita lihat perjalanan panjang pembentukan
critical mass peneliti perguruan tinggi berdasarkan skema penelitian yang
dibuat oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi misalnya. Perguruan tinggi
yang berhasil membuat critical mass peneliti dan berhasil memanfaatkan skim
penelitian RUT dan RUK sampai saat ini,
relatif itu-itu saja, yaitu UI, ITB, UGM, IPB.
Perguruan tinggi World Class Universities (WCU) dan kemungkinan bisa
mempertahankan posisinya, itu-itu saja, yaitu UI, ITB, UGM. Ada beberapa
perguruan tinggi yang masuk dalam list 1.000 besar atau 5.000 besar dunia,
tetapi posisi mereka tidak kokoh dan sangat mudah tercampak, karena
"kurang gizi" sumber daya, baik manusia maupun pendanaan.
Kerja Sama di Antara yang Setara
Sudah menjadi hukum alam, kolaborasi dan kerja
sama dalam tri dharma, biasanya lebih bisa terjadi di antara mereka yang setara
kualitasnya. Kerja sama yang relatif komprehensif, itu pun baru di bidang
penelitian, yang kelihatan baru terjadi antara UI, UGM dan ITB, kebetulan
posisi mereka relatif setara. Termasuk kolaborasi riset internasional, hanya
terjadi antara U to U (university to university) dan antara peneliti dengan
peneliti yang relatif sama mutunya.
Solidaritas dan soliditas almamater ini biasanya
berlanjut di dunia kerja, baik di sektor pemerintahan maupun swasta. Lulusan
dari perguruan tinggi terbaik memiliki okupasi dan posisi terbaik pula dan
biasanya terjadi proses serbuk serumpun juga di lingkungan ini. Terlepas dari
benar atau tidaknya, paling tidak solidaritas almamater ini memperkuat
filantropi kampus asal melalui donasi-donasi, seperti dana abadi yang sangat
sentral peranannya dalam menopang mutu suatu perguruan tinggi. Lihatlah misalnya
NACUBO Endowment Study, perguruan tinggi kelas dunia selalu konsisten dengan
catatan rankingnya dalam soal nilai endowment funds.
Isunya bukan sekadar dikotomi negeri dan swasta,
tapi mindset serbuk serumpun yang telah berurat dan berakar. Bahkan,
Undang-Undang BHP memberikan perguruan tinggi hak otonomi yang sangat luas,
artinya apa yang telah berlangsung selama ini akan terus berlangsung. Ini
adalah lonceng kematian bagi perguruan tinggi.
Dalam kondisi seperti ini peran pemerintah sangat
strategis untuk membuat jembatan komunikasi dan kolaborasi antara perguruan
tinggi di Indonesia. Selama ini instrumen pemerintah belum terlalu kuat
menciptakan budaya saling membantu antara perguruan tinggi.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memiliki
program Detasering dan penelitian hibah pekerti, tapi tentu saja tidak cukup
bila
dibandingkan dengan totalitas kegiatan yang lebih
banyak sifat kompetisinya,padahal kondisinya adalah ketidaksetaraan.
Imigrasi Dosen
Detasering merupakan embrio program komunikasi
dan kolaborasi perguruan tinggi yang perlu dikembangkan secara besar-besaran.
Bukan hanya pengiriman dosen senior untuk waktu satu semester dari perguruan
tinggi sumber (pertisum) kepada perguruan tinggi sasaran (pertisas). Bahkan,
pemerintah sudah harus memikirkan suatu imigrasi dosen besar-besaran, tapi
voluntary dalam arti tidak terpaksa ke berbagai penjuru perguruan tinggi di
Nusantara ini.
Pemerintah harus memetakan perguruan tinggi yang
lemah, baik di bidang pendidikan dan pengajaran, bidang penelitian, bidang
pengabdian masyarakat, bidang pengelolaan perguruan tinggi, bidang pembinaan
sivitas akademika dan meyakinkan mereka untuk bisa menerima tenaga pertisum
dari luar. Salah satu kendala lain selama ini adalah resistensi pihak pertisas
terhadap detaser yang melihat mereka sebagai representasi pusat.
Dinamika akan terjadi ketika ada heterogenitas,
apalagi diisi oleh orang-orang terbaik secara akademik. UI, ITB, UGM mungkin
akan lebih baik mutu dan posisinya dibanding dengan apa yang sudah dicapai
sekarang, kalau di antara mereka sendiri juga terjadi saling salang sumber daya
manusia.
Pemerintah saja tidak cukup, apalagi otonomi sudah
diberikan sepenuhnya kepada perguruan tinggi. Kesadaran otonomi jangan-jangan
semakin menggumpalkan "egoism sektoral", hanya memikirkan dan
mencukupi diri dalam tempurung almamater sendiri. Perguruan tinggi terbaik
harus berpikir bagaimana memperluas makna tri
dharma pengabdian masyarakatnya untuk membantu
sesama perguruan tinggi, saling memperkuat, saling salang. Perguruan tinggi
yang relatif belum baik harus membuka diri untuk belajar dengan detaser-detaser
lain. Buat mereka seperti di rumah sendiri, sehingga mereka bertahan, bahkan
kalau bisa untuk selamanya.
pernah dimuat di Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar