Galib diketahui bahwa postur atau kinerja
riset nasional penelitian di Indonesia belum baik dan
berhasil seperti yang diharapkan. Dalam Indikator Knowledge Economic Index (KEI),
Indonesia hanya menempati urutan 108 dunia (rilis World Bank 2012); artikel jurnal/sejuta
penduduk dan jumlah patent/sejuta penduduk yang tercatat di UPSTO sebagai salah
satu indikator KEI, Indonesia hanya mengkontribusikan 0,80 artikel/sejuta
penduduk dan 0,08/sejuta penduduk; ESI sebagai gambaran dari produktifitas
intelektual dan peneliti, pada kurun 2000-2004,
jumlah publikasi dari Singapura, Thailand dan Malaysia masing-masing 3.086,
2.125 dan 700, Indonesia hanya mampu menyumbang 371. Demikian juga WIPO,
semenjak 2000 sampai tahun 2005, Indonesia hanya
memiliki aplikasi paten rata-rata sebanyak 8,5 aplikasi.
Permasalahannya adalah terletak
pada mutu dan relevansi penelitian yang lemah dan diikuti dengan produktifitas
ilmuwan Indonesia yang rendah. Apa sebetulnya yang menjadi akar permasalahan
dari performa riset/penelitian Indonesia, apakah terkait public expenditure riset
Indonesia yang dianggap relatif kecil atau kompetensi sumber daya manusia
peneliti, atau manajemen penelitian nasional?
Defenisi
Undang-Undang RI No. 18 tahun 2002 mendefenisikan Penelitian sebagai
kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis
untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan
pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau
hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan
ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.[1]
Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia mendefenisikan Penelitian dan Pengembangan sekaligus
yaitu kegiatan kreatif yang dilakukan dengan sistematis untuk menambah
pengetahuan (stock of knowledge),
termasuk pengetahuan tentang manusia, kebudayaan dan masyarakat (knowledge of man, culture and society),
dan pemanfaatan pengatahuan ini untuk merancang penerapan baru (to device new applications). Sementara
itu kegiatan ilmu pengetahuan dan Teknologi bagi LIPI adalah kegiatan-kegiatan
sistematis yang erat kaitannya dengan pengembangan, peningkatan, penyerapan,
dan penerapan pengetahuan ilmiah dan teknologi dalam semua bidang Iptek.
Termasuk di dalamnya beberapa kegaitan antara lain penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan pelatihan ilmiah serta pelayanan jasa iptek.[2]
Menurut kamus
Webster, riset adalah hati-hati, sistematis, studi hak paten dan Penyelidikan
dalam beberapa bidang Pengetahuan, dikerjakan untuk menemukan atau menetapkan
fakta atau prinsip. Sedangkan McGraw
Hill mendefinisikan penelitian sebagai scientific
investigation aimed at discovering and applying new facts, techniques, and
natural laws (penyelidikan ilmiah yang mengarah pada menemukan dan
menerapkan fakta baru, teknik, dan hukum alam).
Penelitian
itu sendiri menampilkan beragam bentuk sesuai dengan aspek penekanannya.
Berdasarkan tujuan penelitian dapat dibagi kepada tiga bagian: a)penelitian
untuk menjelaskan fenomena; b)penelitian untuk membuat prediksi;c)penelitian
untu mengendalikan sesuatu. Berdasarkan pendekatan yang digunakan, penelitian
dapat dilihat kepada empat bagian:a)penelitian eksploratif;b)penelitian
deskriptif; c)penelitian eskperimen;d)penelitian histories. Ada juga yang
membaginya menjadi tiga:a)penelitian lapangan; b)penelitian kepustakaan;
penelitian laboratorium. Berdasarkan sifat pekerjaan da disiplin ilmu: ada
penelitian dasar dan penelitian terapan. Berdasarkan metodologi, dapat dilihat
penelitian kuantitatif dan kualitatif. Di perguruan tinggi dikenal ada
penelitian dasar, penelitian terapan, dan institusional penelitian.[3]
LIPI membagi
penelitian dan pengembangan kepada tiga hal: penelitian dasar, penelitian
terapan pengembangan eksperimental. Penelitian dasar adalah kegiatan penelitian
teoritis atau eksperimental yang dilakukan untuk memperoleh pengetahuan baru
tentang prinsip-prinsip dasar (the
underlying foundations) dari fenomena atau fakta yang teramati, tanpa
memikirkan penerapannya. Penelitian terapan merupakan kegiatan investigative yang orisinal yang
dilakukan untuk memperoleh pengetahuan baru. Namun, kegiatan ini diarahkan
untuk tujuan praktis tertentu. Sementara itu pengembangan eksperimental adalah
kegiatan sistemik dengan menggunakan pengetahaun yang sudah ada, yang diperoleh
melalui penelitian atau pengalaman praktis dengan tujuan menghasilkan material
baru, produk baru atau alat baru, membangun proses baru atau system baru dan
meningkatkan produk, proses atau system yang sudah ada secara substansial.[4]
Indikator Keberhasilan Riset.
Menurut Lynn Grigg (1993) sepanjang dekade penelitian internasional
belum ada konsensus mengenai indikator yang disepakati untuk indikator
keberhasilan/kinerja suatu penelitian. Kendatipun belum ada platform umum yang disepakati, beberapa
lembaga seperti KMNRT telah mengembangkan manual-manual cara mengukur indikator
kinerja riset. Indikator-indikator itu terdiri dari indikator masukan,
indikator proses, indikator luar dan indikator hasil. Dalam tulisan ini lebih banyak melihat pada
indikator luar dan hasil.
Keberhasilan suatu penelitian dalam indikator
masukan dilihat dari faktor kualitas sample (data terkini, time series data),
kualitas pakar yang berkaitan dengan data, kualitas dan kuantitas sumber dana,
system pendanaan, jumlah SDM dan kepakaran serta pengalaman material, kualitas
system informasi. Dari sisi proses, bagaimana penelitian dilakukan dilihat dari
efesiensi aktivitas penelitian, individual versus penelitian mutli dan
cross-disiplin, metodologi penelitian, kemajuan pelaksanaan tahapan penelitian,
metode komunikasi di dalam tim penelitian, kuantitas dan kualitas laporan
kemajuan dalam menyampaikan kemajuan penelitian kepada stakeholders.
Indikator luar terdiri dari dua aspek yaitu produced output dan
consumed output. Sementara itu indikator hasil dapat dilihat dari indikasi
dampak produk penelitian secara menyeluruh. Produced
output merupakan pengukuran output penelitian yang didasarkan pada hasil
penelitian. Indikator output yang dihasilkan adalah jumlah publikasi, jumlah
paten, jumlah pasal dalam buku, jumlah makalah seminar dipublikasi. Consumed output merupakan indikator yang
dihasilkan dari penggunaan/aplikasi outpun penelitian, diantaranya: jumlah
sitasi dalam paper skala nasional dan internasional; jumlah bahasan dan doctor
yang dihasilkan (untuk kasus penelitian akademik).
Selain output yang menjadi indikator juga adalah outcome atau yang kita sebut diatas sebagai indikator hasil. Outcome lebih melihat bagaimana
penelitian itu berdampak kepada internal knowledge domain maupun eksternal
diluar knowledge domainnya. Secara
internal riset impact diukur berdasarkan perkembangan metode teori dan inovasi
baru sesudah menentukan kinerja output,
kemudian ditentukan berapa lama produce
output menjadi knowledge domain
dari sains. Dampak eskternal melihat dan menugkur bagaimana impact dari
penelitian tidak hanya dirasakan oleh knowledge
domain, tapi juga komunitas dan lingkungan diluarnya.[5]
Terry Mart salah seorang ilmuwan/pengajar fisika partikel yang sangat
produktif meneliti dan menulis dalam jurnal-jurnal internasional mencoba
menawarkan, menurutnya, terutama dalam konteks sains dan teknologi riset yang
baik dan dianggap berhasil itu adalah menghasilkan tiga hal: 1) produk atau
inovasi baru yang dapat langsung dipakai oleh industri (bukan hanya sekedar
protipe), (2) paten, atau (3) publikasi di jurnal internasional.[6]
Semenjak tahun 2004, dikti menetapkan bahwa indikator keberhasilan
pelaksanaan penelitian pada 1)jumlah paten yang diperoleh. 2)banyak judul
penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nasional dan/atau internasional.3)
banyaknya rekayasa sosial/kebijakan publik/teknologi tetap guna yang dapat
diterapkan oleh masyarakat dan 4)banyaknya buku ajar yang ditulis oleh para
dosen sebagai buku pegangan dalam memberikan kuliah.[7]
Kembali mengacu pada Lynn Grigg bahwa tidak ada ukuran keberhasilan
riset yang satu untuk semua bidang ilmu. Semuanya tergantung konteks penelitian
dan bidang imunya. Misalnya bidang ilmu sosial, beberapa criteria mungkin tidak
bisa semuanya dikuantifikasi semata-mata disejajarkan dengan penilaian
ilmu-ilmu alam. Apalagi dalam penelitian modern seperti yang dijelaskan oleh
Bourke dan Butler (1993) adalah sangat multidisiplin dengan struktur
intelektual peneliti dan orientasi
lapangan dari unit penelitiannya yang khas.
Apa yang sudah Dilakukan
Sebelum tahun 1980an,
penelitian, khususnya di perguruan tinggi langsung dilaksanakan di
masing-masing perguruan tinggi dengan berbagai variasinya. Semenjak tahun 1984
dana penelitian dari Dikti sampai tahun 1987, dana penelitian sangat terbatas
berturut-turut hanya untuk 146, 32, dan 10 judul saja dengan dana sekitar
300.000/judul.
Dimulai tahun 1988/1989 melalui
dana pinjaman Bank Dunia XXI diperkenalkan untuk pertama kali model penanganan
penelitian PT secara kompetetif. Program penelitian yang pertama kali
diperkenalkan adalah penelitian Berbagai Bidang Ilmu (BBI). BBI terbuka untuk
dosen dimana saja dan dengan bidang ilmu apa saja. Penelitian ini disebut juga
dengan penelitian dosen muda dan ketika program WB berakhir penelitian BBI ini
berubah nama menjadi penelitian dosen muda dengan dana rupiah murni. Hingga 2001
telah didanai sebanyak 11.125 penelitian dengan total pendanaan 51.350.000.000.
Belum ada penelitian komprehensif tentang output
dan outcome penelitian yang telah
dilakukan selama kurun waktu itu. Dalam Pendidikan Tinggi Indonesia dalam
Lintas Waktu hanya disebutkan impact
untuk kontek seting sosial terbatas, yaitu menumbuhkan budaya meneliti pada
peneliti muda.
Salah satu evaluasi waktu itu
adalah dana penelitian model BBI dengan hanya 4-5 juta perjudul penelitian
diaanggap jumlah yang kecil untuk menghasilkan sesuatu yang besar, maka pada 1992 lagi-lagi dengan menggunakan dana
WB meluncurkan program penelitian hibah bersaing dengan orientasi pada produk,
apakah itu prototype, varietas
unggul, termasuk juga konsep, metodologi, kebijaksanaan dsb. Jumlah dana per
judul penelitian adalah 40-60 juta per tahun dan bersifat multi year. Dengan
modalitas baru ini, guru besar/S 3 serta dosen yang berasal dari UI, IPB, ITB
dan UGM tidak boleh lagi mengajukan usulan ke BBI. Inilah awal dimulainya di
diknas suatu penelitian bergengsi dengan system kompetisi berjenjang. Dari
hibah bersaing satu hingga sembilan telah dikeluarkan dana hampir Rp. 80 Miliar
untuk 2.889 judul penelitian.
Dari penelitian hibah bersaing
ini ada beberapa evaluasi yang dihasilkan, diantaranya
a. Setiap
judul rata-rata digunakan untuk membimbing 4.3 mahasiswa S 1, 0.8 S2 dan 0.3
S3, menghasilkan rata-rata 1.0 seminar di dalam negeri dan 0.33 seminar di luar
negeri.
b. Setiap judul rata-rata memerlukan biaya
Rp.111.7 juta atau Rp 42 juta per tahun
c. Dalam
hibah ini melibatkan peneliti utama yang guru besar 11 per sen, S3 54 Per sen,
S2 28 Per sen dan S1 7 per sen.
Semenjak tahun 1995, Diknas juga memiliki program penelitian yang dikaitkan
dengan pembinaan program pascasarjana, yaitu program university Research For Graduate Eduacation (URGE) dengan dana 70
per sen dari pinjaman Bank Dunia dan 30 per sen dari rupiah murni. Penelitian
atau disebut sebagai Research Grant sebagai bagian dari
komponen URGE terdiri dari team research
dan young academic program. Team research diusulkan oleh guru besar/tim pembimbing dengan
mencantumkan mahasiswa S2/S3 yang akan dihasilkan dari penelitian. Sementara young academic adalah program penelitian
doctor baru, 1-2 tahun kembali dari pendidikan sebagai after care mengisi waktu penyesuaiaan. Program dengan skema pendanaan seperti
disebutkan berjalan selama kurang lebih lima tahun dan selanjutnya dilaksanakan
dengan rupiah murni.[8]
Saat ini dikti, program
penelitian yang eksis (hampir semuanya kompetitif, kecuali beberapa diantaranya
seperti hibah kompetensi) yaitu program hibah penelitian RAPID[9],
Hibah penelitian fundamental, hibah penelitian kerjasama perguruan tinggi
(PEKERTI)[10], hibah
penelitian hibah bersaing, penelitian dosen muda dan studi kajian wanita[11],
hibah Penelitian Pasca Sarjana.
Pada tahun 1993, bersamaan
dengan meluncurnya berbagai program penelitian Diknas, Kantor Menristek meluncurkan program yang
sejenis yaitu Riset Unggulan Terpadu (RUT) dan Riset Unggulan Kemitraan (RUK),
kemudian Riset unggulan Strategi Nasional. KMNRT tidak hanya melibatkan
LPND-LPND koordinasinya, tapi juga mengikutkan perguruan tinggi dalam
memanfaatkan skim-skim penelitian yang ada. KMNRT juga memiliki program RUTI.
Karena banyak institusi yang terlibat, biaya yang disediakan relatif besar.
Untuk RUT dan RUK, sepuluh tahun penerapan program, 75 per sen dari dana
kompetetifnya dimenangkan oleh peneliti utama yang berasal dari dosen PT.
Dalam program RUT telah
dikembangkan dan dilakukan program riset
di bidang seperti (1) Teknologi Perlindungan Lingkungan, (2) Bioteknologi, (3) Rancang Bangun dan Perekayasaan, (4)
Teknologi Hasil pertanian dan (5)
Elektronika dan Informatika yang masuk dalam lima bidang priorioritas
riset nasional sepanjang RUT I dan RUT VI. Program itu kemudian diterjemahkan
ke dalam tema-tema riset/sub bidang. Sementara program RUK yang mencoba
mengembangkan keterkaitan antara lembaga penelitian dengan industri, KMNRT
telah meluncurkan program penelitian seperti di bidang Teknologi Hasil Pertanian , Teknologi Energi, Ilmu Bahan dan Elektronika.[12]
Hasil dan Tantangan Riset Nasional
M. Rifai, seorang Profesor riset
LIPI, Ahli Taksonomi Fungi, pernah memberikan suatu gambaran miris tentang
kapabilitas dosen-dosen Indonesia dalam meneliti. Berdasarkan proposal-proposal
penelitian yang masuk ke Departemen Pendidikan Nasional, Dikti, M. Rifai berani
menyimpulkan hanya 1,1 persen saja dosen yang layak meneliti. M. Rifai tidak
sepakat dana menjadi halangan untuk meneliti. Menurut Rifai dengan sedikitnya
dosen yang layak meneliti maka tidak heran menurutnya rendahnya angka publikasi
internasional dari intelektual-intelektual Indonesia termasuk dosen.[13]
Pernyataan M. Rifai ini sejalan dengan pencapaian KEI (Knowledge Economic
Indicators) Indonesia yang menjadi proxi penting dalam menilai peran
pengetahuan termasuk didalamnya kegiatan riset dalam mendorong pembangunan
perekonomian suatu Negara. Semenjak tahun 1995 sampai tahun 2007,
posisi KEI Indonesia hanya naik satu peringkat dari rengking 92 menjadi 91(dan
berdasarkan rilis terakhir, posisi Indonesia justru jatuh pada urutan 108).
Indonesia juga bisa berkaca pada ISI dan secara tidak langsung juga pada
rengking universitas Indonesia, terutama untuk universitas, dalam WCU yang juga
secara tidak langsung menggambarkan bagaimana penelitian dan produktifitas
dosen Indonesia.
Salah satu indicator kunci KEI
yang juga menjadi gambaran dari kinerja riset Indonesia, yaitu jumlah publikasi jurnal internasional/sejuta
penduduk dan patent yang diberikan oleh UPSTO/sejuta penduduk, Indonesia masih
sangat rendah.
Publikasi
Internasional merupakan salah satu indikator keberhasilan riset yang bisa
dikatakan sudah menjadi konsensus umum. Sebuah riset yang baik dan berhasil
dapat dilihat dari publikasinya yang dinilai (berarti juga diakui) oleh tim
reviewer/tim ahli yang juga menggambarkan mutu/kualitas risetnya. Produktifitas penelitian dan
ilmuwan dalam publikasi di jurnal Internasional per sejuta penduduk hanya 0,80
per sejuta penduduk. Padahal pada saat yang sama, India mampu menyumbang 12
artikel per sejuta penduduk dan Malaysia telah berkontribusi sebanyak 21
artikel per sejuta penduduknya. Performa publikasi jurnal Internasional yang sedikit itu hanya disumbangkan
oleh sedikit ilmuwan/peneliti militan Indonesia, mungkin pada kelompok yang
berjumlah 1,1 persen seperti yang disebutkan M. Rifai, seperti mereka yang
terjaring dalam index tertinggi dari Leading Scientist and Engineers of OIC
Member States.[14]
Perguruan tinggi sebagai bagian dari institusi riset yang
paling banyak memanfatkan skim riset
nasional, seperti terlihat pada data Laporan Akuntabilitas Departemen
Pendidikan Nasional, kontribusi publikasi ilmiah jurnal internasionalnya tidak
terlalu produktif. Pada tahun 2005 jumlah
publikasi mencapai angka 60 buah, tapi pada tahun 2006 dan 2007 hanya 21 dan 30
artikel ilmiah.[15]
Essential
Science Indicators (ESI) yang dikelola oleh Institute for Science Information
(ISI), sebuah lembaga yang setiap tahunnya mengeluarkan lebih dari 70.000
jurnal ilmiah (berpusat di Philadelphia, Amerika) berdasarkan jumlah kutipan
yang diterima setiap jurnal dibagi dengan jumlah paper yang diterbitkan selama
dua tahun terakhir, juga menjadi barometer bagaimana produktifitas ilmuwan
dunia. Sebetulnya untuk melihat lebih kasar jumlah kutipan paper internasional,
bisa juga ditelusuri dengan google
scholar.
Berdasarkan
pada data ESI, maka ada lima kelompok bidang penelitian Indonesia yang jumlah
publikasinya cukup menonjol yaitu clinical medicine, plant&animal science,
environmental/ecology, goescience dan agricultural siences. Selain lima bidang
itu, dalam ESI juga ada bidang chemistry, engineering, physics,
biology&biochemistry dan microbiology.
Dari deretan bidang ilmu itu, Indonesia tidak memiliki publikasi di
bidang ilmu Matematika, komputer science dan neuroscience dan behavior,
setidak-tidaknya mengacu pada data sampai tahun 2006.[16]
Perkembangan
Publikasi dari Indonesia, 1994-2004
Kalau
kita lihat kuantifikasinya, terlihat sekali ketertinggalan Indonesia, misalnya
dengan Negara-negara ASEAN, apalagi dengan Negara-negara ASIA. Pada kurun 2000-2004, jumlah
publikasi dari Singapura, Thailand dan Malaysia masing-masing 3.086, 2.125 dan
700. Indonesia hanya mampu manyumbang 371. Indonesia akan semakin terlihat tertinggal
jauh, jika melihat publikasi Korea Selatan dan Cina yang masing-masing
berjumlah 10.741 dan 14.643.
Perkembangan
Total Publikasi di Beberapa Negara, 1994-2004
Perbandingan
Publikasi dari 4 Negara ASEAN dalam bidang Clinical Medicine, 1995-2004
Indonesia juga bisa berkaca
dari pencapaian penelitian dalam konteks publikasi internasional per bidang
ilmu yang mencoba menghitung olimpiade kutipan. Misalnya bisa kita ambil bidang
fisika partikel yang memiliki modalitas dan instrumen menghitung yang cukup
stabil. Di dalam bidang fisika ada data base fisika partikel yang berlokasi di
University Stanford (SLAC-SPIRES) yang merilis oliampiade kutipaan terhadap
paper-paper ilmiah fisika partikel dari 100 negara. Menurut keterangan Terry
Mart yang mempopulerkan tentang olimpiade kutipan ini, topcite oliympic ini
adalah data dari sekitar setengah juta paper fisika partikel yang
dipublikasikan antara tahun 1950an dan 2004. Ada empat criteria paper yang
mendapatkan medali, yaitu well known (dikutip lebih dari 50 paper lain), famous
(dikutip lebih dari 100 paper), renowned (dikutip lebih dari 500 paper) dan top
(dikutip lebih dari 1000 paper).[17]
No Urut
|
Country
|
1000+
|
500+
|
100+
|
50+
|
Total number
of papers
|
Total Population
|
GDP ($US 109)
|
GDP per capita
|
1
|
United States
|
198007
|
290342554
|
10400
|
35819
|
||||
2
|
EU
|
32
|
178
|
3552
|
9433
|
211075
|
449491575
|
10279
|
22868
|
3
|
Switzerland
|
43426
|
7318638
|
231
|
31563
|
||||
4
|
Russia
|
61366
|
144526278
|
1350
|
9340
|
||||
5
|
United Kingdom
|
38789
|
60094648
|
1520
|
25293
|
||||
6
|
Germany
|
69268
|
82398326
|
2184
|
26505
|
||||
7
|
Italy
|
46813
|
57998353
|
1438
|
24793
|
||||
8
|
France
|
37411
|
60180529
|
1540
|
25589
|
||||
9
|
Canada
|
18673
|
32207113
|
923
|
28658
|
||||
10
|
Sweden
|
7132
|
8878085
|
227
|
25568
|
||||
11
|
Japan
|
42606
|
127214499
|
3550
|
27905
|
||||
12
|
Poland
|
12371
|
38622660
|
368
|
9528
|
||||
14
|
Denmark
|
5429
|
5384384
|
155
|
28786
|
||||
15
|
Belgium
|
5544
|
10289088
|
297
|
28865
|
||||
16
|
Korea
|
5250
|
70955518
|
953
|
13430
|
||||
17
|
Chile
|
1520
|
15665216
|
151
|
9639
|
||||
18
|
Australia
|
5463
|
19731984
|
528
|
26758
|
||||
19
|
Netherlands
|
9176
|
16150511
|
434
|
26872
|
||||
20
|
Israel
|
8199
|
6116533
|
122
|
19945
|
||||
21
|
Taiwan
|
3225
|
22603001
|
406
|
17962
|
||||
22
|
Spain
|
12633
|
40217413
|
828
|
20588
|
||||
23
|
Portugal
|
2861
|
10102022
|
182
|
18016
|
||||
24
|
India
|
13783
|
1049700118
|
2660
|
2534
|
||||
25
|
Brazil
|
10343
|
182032604
|
1340
|
7361
|
||||
26
|
Mexico
|
3927
|
104907991
|
900
|
8578
|
||||
27
|
Colombia
|
591
|
41662073
|
268
|
6432
|
||||
28
|
Finland
|
0
|
4045
|
5190785
|
136
|
26200
|
|||
29
|
Austria
|
0
|
5015
|
8188207
|
226
|
27600
|
|||
30
|
China
|
0
|
12633
|
1286975468
|
5700
|
4428
|
|||
31
|
Greece
|
0
|
4149
|
10665989
|
201
|
18844
|
|||
32
|
Hungary
|
0
|
3466
|
10045407
|
134
|
13339
|
|||
33
|
Norway
|
0
|
2507
|
4546123
|
143
|
31455
|
|||
34
|
Slovenia
|
0
|
1240
|
1935677
|
36
|
18598
|
|||
35
|
Ukraine
|
0
|
5371
|
48055439
|
218
|
4536
|
|||
36
|
Bulgaria
|
0
|
0
|
2137
|
7537929
|
50
|
6633
|
||
37
|
Czech Republic
|
0
|
0
|
2666
|
10249216
|
155
|
15123
|
||
38
|
Slovakia
|
0
|
0
|
1736
|
543033
|
66
|
12154
|
||
39
|
Argentina
|
0
|
0
|
2350
|
38740807
|
391
|
10092
|
||
40
|
Armenia
|
0
|
0
|
3642
|
3326448
|
12
|
3607
|
||
41
|
Ireland
|
0
|
0
|
1726
|
3924140
|
118
|
30070
|
||
42
|
Croatia
|
0
|
0
|
1268
|
4422248
|
39
|
8819
|
||
43
|
Turkey
|
0
|
0
|
1552
|
68109469
|
468
|
6871
|
||
44
|
Georgia
|
0
|
0
|
1948
|
4934413
|
15
|
3039
|
||
45
|
South Africa
|
0
|
0
|
1375
|
42768678
|
432
|
10100
|
||
46
|
Romania
|
0
|
0
|
2678
|
22271839
|
166
|
7453
|
||
47
|
Venezuela
|
0
|
0
|
581
|
24654694
|
132
|
5353
|
||
48
|
Iran
|
0
|
0
|
767
|
68278826
|
456
|
6678
|
||
49
|
Morocco
|
0
|
0
|
378
|
31689265
|
115
|
3628
|
||
50
|
Uzbekistan
|
0
|
0
|
1032
|
25981647
|
65
|
2501
|
||
51
|
Cyprus
|
0
|
0
|
359
|
771657
|
9
|
11663
|
||
52
|
Kazakhstan
|
0
|
0
|
1097
|
16763795
|
105
|
6263
|
||
53
|
Uruguay
|
0
|
0
|
156
|
3413329
|
26
|
7617
|
||
54
|
Pakistan
|
0
|
0
|
523
|
150694740
|
311
|
2063
|
||
55
|
Estonia
|
0
|
0
|
246
|
1408556
|
15
|
10649
|
||
56
|
Belarus
|
0
|
0
|
1194
|
10322151
|
85
|
8234
|
||
57
|
Philippines
|
0
|
0
|
83
|
84619974
|
356
|
4207
|
||
58
|
New Zealand
|
0
|
0
|
367
|
3951307
|
79
|
19993
|
||
59
|
Costa Rica
|
0
|
0
|
59
|
3896092
|
32
|
8213
|
||
60
|
Indonesia
|
0
|
0
|
87
|
234893453
|
663
|
2822
|
||
61
|
Saudi Arabia
|
0
|
0
|
231
|
24293844
|
242
|
9961
|
||
62
|
Azerbaijan
|
0
|
0
|
525
|
7830764
|
27
|
3447
|
||
63
|
Vietnam
|
0
|
0
|
172
|
81624716
|
183
|
2241
|
||
64
|
Sudan
|
0
|
0
|
47
|
38114160
|
52
|
1364
|
||
65
|
Kuwait
|
0
|
0
|
47
|
2183161
|
34
|
15573
|
||
66
|
Singapore
|
0
|
0
|
226
|
4608595
|
105
|
22783
|
||
67
|
Algeria
|
0
|
0
|
245
|
32818500
|
167
|
5088
|
||
68
|
Egypt
|
0
|
0
|
0
|
553
|
74718797
|
268
|
3586
|
|
69
|
Iceland
|
0
|
0
|
0
|
74
|
280798
|
7
|
24928
|
|
70
|
Ecuador
|
0
|
0
|
0
|
92
|
13710234
|
41
|
2990
|
|
71
|
Tadzhikstan
|
0
|
0
|
0
|
99
|
6863752
|
8
|
1165
|
|
72
|
Lebanon
|
0
|
0
|
0
|
118
|
3727703
|
19
|
5096
|
|
73
|
Sri Lanka
|
0
|
0
|
0
|
25
|
19742439
|
73
|
3697
|
|
74
|
Moldova
|
0
|
0
|
0
|
154
|
4439502
|
11
|
2477
|
Menurut
Terry Mart, pencapaian Korea dan Polandia yang mampu masuk 20 besar dan
mendulang beberapa top cite karena mereka terlibat dalam kolaborasi riset yang
disebut Super-Kamiokande di Jepang yang berhasil membuktikan bahwa neutrino
memiliki massa atau Kolaborasi D0 di Fermilab Amerika yang berhasil mengamati
Quark top. Swiss dengan populasi kurang lebih 8 juta berhasil bertengger di top
five, karena pusat riset ukli dan partikel eroa CERN berada di negaranya. Jadi
ada kolaborasi riset internasional dan investasi infrastruktur penelitian yang
tidak sedikit untuk mendorong proliferasi hasil riset di level internasional.
Indonesia belum memiliki top cite dan renowned yang menandakan kualitas hasil
riset, terutama bidang fisika partikel.[18]
Paten[19]
merupakan gambaran dari kinerja penelitian terapan, gambaran dari sejauh mana
suatu hasil riset menjadi teknologi yang menjadi hak ekslusif penemunya dan
memberikan nilai tambah bagi sector ekonomi. UPSTO merupakan salah satu kantor
paten yang berpusat di Amerika, setiap tahun melayani permohonan paten dari seluruh
dunia. Karena banyaknya pihak yang mencoba mendaftarkan patennya di UPSTO, disamping diduga karena Amerika adalah pasar
internasional terbesar, UPSTO menjadi barometer dan indikator atas kemampuan
teknologi dan daya saing dari suatu Negara, yang tentu saja menjadi cerminan
kinerja riset di dalamnya. Indonesia hanya mampu menyumbangkan patent 0,80 per
sejuta penduduk sama tidak produktifnya dengan publikasi ilmiah. Menandakan hasil penelitian
masih terhenti pada tahap laporan penelitian, konsep dan protipe. Pada saat
yang sama India menyumbang 0.30 dan Malaysia jauh diatas, yaitu 3.03 per sejuta
penduduk.[20]
The World Intellectual Property Organization (WIPO) juga
menggambarkan kecilnya pencapaian
Indonesia di bidang invensi yang kemudian menjadi hak ekslusif dilindungi ini
kepada segenap penggerak R&Dnya. Padahal pada saat yang sama orang telah
membicarakan fenomena Negara Asia seperti China, Korea Selatan dan India dalam
mengusulkan dan memperoleh patent. Mungkin Indonesia bisa sedikit “tidak bersalah”,
karena pemohon paten dalam konteks WIPO ini adalah didominasi oleh
inventor-inventor dari Perusahaan-perusahaan besar dunia yang Indonesia tidak
memilikinya, walaupun sebagian ada memiliki kantor di Indonesia, tapi sekaligus
menandakan bahwa Indonesia sangat ketinggalan di bidang teknologi.[21]
Berdasarkan
data WIPO semenjak 2000 sampai tahun
2005, Indonesia hanya memiliki aplikasi paten rata-rata sebanyak 8,5 aplikasi. Pada tahun 2000 ada 9
aplikasi, 6 pada 2001, 16 pada 2002, 2 pada 2003, 12 pada 2004 dan 12 pada 2005. Sementara itu Malaysia memiliki
rata-rata aplikasi 25 per tahunnya. Rata-rata pencapaian Indonesia ini relatif
tidak berubah sampai tahun 2008 ini. Padahal pada tahun 2007, Asia diwakili
Jepang menjadi aplikan terbanyak dalam patent, terutama dalam konteks
perusahaan, melalui perusahaan mereka, Matsushita Electric Industrial Co Ltd
dengan 2100 permohonan. Dan pada saat yang sama juga, China berkibar dengan
Huawei Technologies Co Ltdnya, perusahaan dari China masuk empat besar pemilik
paten terbanyak di dunia.[22]
25
Besar perusahaan pemohon paten melalui PCT 2007
|
||
Nama
|
Negara
|
Jumlah
|
Matsushita Electric Industrial C
|
Jepang
|
2100
|
Koninklijke Philips Electronics
|
Belanda
|
2041
|
Siemens Aktiengesellschaft
|
Denmark
|
1644
|
Huawei Technologies Co Ltd
|
China
|
1365
|
Roberst Bosch GMBH
|
Jerman
|
1146
|
Toyota Jidisha Kabushiki Kaisha
|
Jepang
|
997
|
Qualcomm Incorporated
|
AS
|
074
|
Microsoft Corporation
|
AS
|
845
|
Motorola Inc
|
AS
|
824
|
Nokia Corporation
|
Finlandia
|
822
|
BASF Aktiengesellschaft
|
Denmark
|
810
|
3M Innovatie Propertirs Company
|
AS
|
769
|
LG Electronics
|
Korsel
|
719
|
Fujitsu limited
|
Jepang
|
708
|
Sharp Kabushiki Kaisha
|
Jepang
|
702
|
NEC Corporation
|
Jepang
|
626
|
Intel Corporation
|
AS
|
623
|
Pioneer Corporation
|
Jepang
|
611
|
IBM
|
AS
|
606
|
Samsung Electronics Co Ltd
|
Korsel
|
598
|
Telefonaktiebolaget LM Ericsson
|
Swedia
|
597
|
The Procter & Gamble Company
|
AS
|
575
|
Honeywell Internasional Inc
|
AS
|
520
|
EI Dupont De Nemours
|
AS
|
504
|
General Electric Company
|
AS
|
438
|
Sumber:
WIPO
Pendanaan Penelitian
Salah satu faktor yang sering dianggap sebagai penyebab dari “buruk rupa”
wajah riset nasional Indonesia adalah rendahnya kemampuan pemerintah Indonesia
dalam menyediakan public expenditure untuk R&D/riset pengembangan seperti
dengan baik terlihat dari Human Development Report 2006, yaitu hanya sebesar 0,5%
dari PDB. Di Malaysia 0,7%, China 1,1%, Singapura 2,1%, dan yang paling besar
Korea Selatan, 3,0% dari PDB adalah untuk riset. Beberapa pengamat mengatakan,
inilah yang menjadi masalah mendasar penelitian di Indonesia yang berkontribusi
atas “bentuk” perwajahan/kinerja riset nasional.
LIPI melalui Pusat Penelitian Perkembangan secara lengkap dan longitudinal menghitung
bagaimana sebetulnya pergerakan pendanaan R&D di Indonesia semenjak tahun
1969 sampai 2004, dua orde pemerintahan, Orde Baru dan Reformasi. Dana Iptek,
dimana termasuk R&D di dalamnya, kecendrungannya adalah terus menurun
secara linear dan eksponensial. Pada tahun 1969/1970 pemerintah Indonesia
menganggarkan di dalam APBN untuk dana IPTEK
sebanyak 5,2 persen dari total APBN, bahkan pada 1971 mencapai puncaknya
mendekati angka 7 persen. Akan tetapi jumlah terus merangkak turun sampai pada
tahun 2004 alokasi anggaran untuk Iptek hanya 0,56 persen.
rasio anggaran iptek dan litbang terhadap APBN,
1969-2004
Dalam kurun waktu 36 tahun itu, secara absolut anggaran Iptek memang
terlihat selalu mengalami kenaikan, akan tetapi kenaikan itu dibawah kenaikan
APBN, oleh karena itu rasio anggaran terhadap APBN terus menurun. Anggaran Iptek naik
150 kali lipat, akan tetapi APBN lebih dari 1400 kali lipat kenaikannya.
Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto seperti dalam Human
Development Report, maka trendnya tidak jauh berbeda dengan rasio anggaran
terhadap APBN. Rasio tertinggi terjadi tahun 1971 sebesar 0,74 per sen PDB.
Bedanya adalah rasio terhadap PDB adalah linear menurun, sementara terhadap
APBN eksponensial menurun. Artinya komitmen pemerintah untuk mendukung riset
atau iptek pada umumnya cendrung menurun.
Sementara itu lebih spesifik, rasio anggaran litbang terhadap PDB, mencapai
puncaknya pada 1982 yaitu 0,5 persen dan mencapai titik nadirnya pada tahun
2004 dengan angka 0.05 persen. Pada tahun yang sama Singapura rasio anggaran
litbangnya terhadap PDB 36,6 persen, Malaysia 32,1 persen dan Korea Selatan
23,9 persen.
Bagaimana dengan pendanaan litbang di perguruan tinggi?sebagian besar dana
penelitian di perguruan tinggi (mencapai 71,10 per sen total belanja litabang)
berasal dari pemerintah. Sementara itu dari pihak Swasta sebagai bagian dari
triple helix hanya menyumbang sekitar 14,22 per sen saja (9,95 per sen dari
swasata dalam negeri, 0,65 persen dari LSM luar negeri). Sisanya berjumlah 6,38
per sen berasal dari perguruan tinggi sendiri diantaranya dari uang SPP;1,27
per sen dari kerjasama dengan pemerintah negera lain; 5,48 persen lembaga
multilateral dan 1,20 per sen dari sumber lainnya.
Dari komposisi sumber pendanaan itu Belanja kegiatan litbang di perguruan
tinggi sebagian besar dialokasikan untuk penelitian terapan 56,91 persen,
sisanya sebesar 33,97 persen untuk pengembangan eksperimental dan 9,12 persen
untuk penelitian dasar.
Sebaran Belanja Litbang Menurut Jenis Kegiatan, 2004
Dan kalau dilihat dari kelompok
fakultas, belanja litbang ilmu sosial
cukup tinggi yaitu 57,26 persen, dan sebanyak 45,5 persen darinya adalah belanja
litbang kelompok fakultas ekonomi. [23]
Sebaran Belanja Litbang Menurut Kelompok Fakultas, 2004
Sumber Daya Manusia
Penelitian
Beberapa pemikiran mengatakan
bahwa akar permasalahan penelitian di Indonesia bukanlah terletak pada
pendanaan seperti dijelaskan diatas, akan tetapi lebih kepada kompetensi sumber
daya penelitinya. Permasalahannya bisa terkait dengan kuantitas peneliti maupun
kualitas peneliti. Katakanlah dananya besar, tapi kalau penelitinya tidak
kompeten tetap akan tidak bisa menciptakan critical mass peneliti yang mampu
merebut berbagai peluang penelitian yang ada dengan ide/kretifitas yang tidak
pernah kering dan akibatnya menghasilkan penelitian yang tidak bagus dan tidak
layak publikasi.
Saat ini, jumlah peneliti dan
perakayasa di LPND dan LPD yang memiliki Litbang lainnya berjumlah sekitar
7170. PNS yang melakukan penelitian di dalam litbang pemerintah dikelompokkan
ke dalam kategori peneliti, teknisi atau staf pendukung. Jumlah dosen diseluruh
Indonesia dengan mandat tridarma perguruan tinggi, berjumlah 150 ribu orang
yang tersebar dalam empat kategori, dosen tetap PNS, dosen PNS DPK, Dosen
Yayasan Tetap dan dosen honorer.
No
|
Instansi
|
Peneliti
|
Total
|
||||||||
Pertama
|
Muda
|
Madya
|
Utama
|
|
|||||||
III/a
|
III/b
|
III/c
|
III/b
|
IV/a
|
IV/b
|
IV/c
|
IV/d
|
IV/e
|
|
||
1
|
DPR RI
|
|
|
4
|
13
|
10
|
3
|
1
|
|
1
|
32
|
2
|
DKP
|
61
|
35
|
30
|
29
|
38
|
40
|
31
|
14
|
15
|
293
|
3
|
DEPTAN
|
173
|
141
|
294
|
223
|
282
|
171
|
122
|
101
|
183
|
1690
|
4
|
DEPSOS
|
14
|
14
|
22
|
26
|
16
|
11
|
3
|
2
|
2
|
110
|
5
|
DEPPU
|
19
|
8
|
29
|
17
|
31
|
28
|
16
|
11
|
16
|
175
|
6
|
DEPPERIN
|
31
|
36
|
72
|
57
|
64
|
26
|
12
|
5
|
|
303
|
7
|
DEPPERDAG
|
|
|
|
1
|
2
|
2
|
|
|
1
|
6
|
8
|
DEPNAKERTRANS
|
10
|
3
|
6
|
11
|
10
|
16
|
7
|
3
|
3
|
69
|
9
|
DEPKUM-HAM
|
|
|
4
|
1
|
12
|
3
|
4
|
2
|
1
|
27
|
10
|
DEPKOP-UKM
|
5
|
6
|
2
|
5
|
7
|
8
|
3
|
3
|
1
|
27
|
11
|
DEPKOMIMFO
|
15
|
14
|
18
|
22
|
20
|
7
|
3
|
1
|
1
|
101
|
12
|
DEPKES
|
65
|
56
|
61
|
32
|
54
|
56
|
16
|
8
|
25
|
373
|
13
|
DEPKEU
|
20
|
6
|
5
|
3
|
6
|
3
|
2
|
1
|
1
|
47
|
14
|
DEPHUT
|
102
|
59
|
67
|
37
|
61
|
46
|
32
|
16
|
28
|
439
|
15
|
DEPHUB
|
23
|
21
|
24
|
17
|
17
|
8
|
2
|
2
|
3
|
117
|
16
|
DEPBUDPAR
|
18
|
29
|
77
|
51
|
54
|
26
|
16
|
10
|
6
|
287
|
17
|
DEPDIKNAS
|
34
|
34
|
57
|
51
|
33
|
21
|
8
|
4
|
4
|
246
|
18
|
DEPAG
|
10
|
12
|
16
|
10
|
20
|
13
|
14
|
13
|
18
|
126
|
19
|
DEP.ESDM
|
25
|
27
|
31
|
19
|
47
|
27
|
24
|
18
|
20
|
238
|
20
|
BPS
|
|
2
|
5
|
4
|
4
|
|
|
|
2
|
17
|
21
|
BSN
|
7
|
2
|
|
2
|
4
|
|
|
1
|
|
16
|
22
|
DDN
|
36
|
15
|
9
|
19
|
11
|
32
|
27
|
12
|
6
|
167
|
23
|
BPN
|
|
1
|
1
|
2
|
1
|
|
|
1
|
|
6
|
24
|
BPPT
|
10
|
9
|
41
|
35
|
46
|
39
|
21
|
20
|
24
|
245
|
25
|
BKKBN
|
3
|
3
|
4
|
3
|
9
|
8
|
2
|
1
|
|
33
|
26
|
BMG
|
10
|
5
|
1
|
|
2
|
|
|
|
|
18
|
27
|
BATAN
|
27
|
21
|
52
|
82
|
89
|
75
|
33
|
35
|
65
|
479
|
28
|
BAPETEN
|
|
1
|
1
|
2
|
1
|
2
|
1
|
|
1
|
9
|
29
|
ANRI
|
|
|
|
|
|
|
|
1
|
|
1
|
30
|
BAKOSURTANAL
|
1
|
4
|
6
|
11
|
15
|
1
|
4
|
3
|
2
|
47
|
31
|
KEJAGUNG
|
|
1
|
4
|
3
|
3
|
6
|
3
|
1
|
1
|
22
|
32
|
LAN
|
7
|
2
|
3
|
8
|
4
|
2
|
|
1
|
1
|
28
|
33
|
LAPAN
|
21
|
25
|
50
|
42
|
32
|
45
|
18
|
14
|
13
|
250
|
34
|
LIPI
|
102
|
100
|
149
|
121
|
177
|
159
|
95
|
71
|
133
|
1111
|
35
|
BKN
|
1
|
|
1
|
|
|
|
|
|
|
2
|
|
JUMLAH
|
854
|
692
|
1146
|
959
|
1182
|
874
|
511
|
375
|
577
|
7170
|
|
JUMLAH TOTAL
|
7170
|
Sumber data secretariat TP3, Cibinong, 27 Mei 2008.
Jumlah
tenaga peneliti Indonesia itu terbilang sedikit jika dibandingkan dengan
Negara-negara tetangga atau untuk memperbaiki KBI. Mengacu pada dokumen Human
Developmen Report (HDR), jumlah tenaga peneliti bidang R&D per satu juta
penduduk di Indonesia hanya sebanyak 130. Sementara itu di Malaysia sudah
mencapai 160, China 548, Korsel: 2.880, dan yang paling banyak Singapura:
4.052.
Berdasarkan
survei lembaga litbang pemerintah tahun 2004 yang dilakukan oleh KRT terlihat
komposisi tenaga litbang pemerintah pada tahun 2003, 37 persen adalah tenaga
peneliti, 28 persen tenaga teknis, dan 35 persen adalah staf pendukung. Dari
total peneliti, teknisi dan staf pendukung di litbang, hanya sekitar 4,6 persen
saja yang sudah S3. Sebanyk 13 persen adalah S2 dan 29 persen sisanya adalah
berpendidikan S1.
Dari
data headcount kemudian dilihat dengan metode full time equivalent (FTE, atau
yang biasa juga disebut dengan waktu efektif) , ternyata para peneliti yang
sudah terbatas itu juga tidak “total football” dalam kerja penelitiannya. Hasil survei pada tahun
2003 menunjukkan waktu efektif tenaga litbang rata-rata adalah 0,55. FTE rata-rata
peneliti adalah sebesar 0,58 persen. Secara umum, tenaga litbang hanya
menggunakan setengah waktu kerjanya untuk kegiatan litbang. [24]
Di
perguruan tinggi SDM yang terlibat dalam penelitian terdiri dari: peneliti yang
terdiri dari dosen atau professional, teknisi dan staf pendukung. Rasio SDM
yang berpendidikan S2 yang terlibat penelitian cukup tinggi, diikuti oleh S1
dan S3. Hampir 85
persen diantara ketiga kategori itu adalah dengan status dosen. Angka partisipasi dosen yang
melakukan penelitian di semua kelompok fakultas kurang dari 0,40.
Sebaran litbang perguruan tinggi menurut kelompok fakultas
dan dan tingkat pendidikan 2004
demikian
juga SDM litbang perguruan tinggi yang dikoordinasikan oleh lembaga penelitian,
mayoritas berpendidikan S2, kumudian disusul S1 dan S3.
Akan
tetapi mengacu pada analisa KMNRT terhadap pelaksanaan program RUT dan RUK dari
interval waktu 1993-2000 atau dari RUT I-RUT VI, peneliti bergelar Doktor lebih
mendominasi dibandingkan dengan peneliti bergelar Profesor, master dan apalagi
sarjana. Data di bawah ini menunjukkan periset bergelar doctor nyaris 4-5 kali
lebih banyak daripada jumlah periset bergelar master, bahkan jumlah
perbandingan itu semakin membengkak jika dibandingkan dengan professor yaitu
8-10 kali lipat. Menurut KMNRT, dilihat kecendrunganya periset bergelar doctor
jumlahnya berfluktuasi antara 75-100 orang. Kecenderungan menaik ditunjukkan
oleh periset bergelar master. Kecendrungan ini tidak pada professor dan tidak
pula pada sarjana. Selama RUT 1-VI, kuantitas partisipasi guru besar hanya
rata-rata 6 orang pertahunnya.[25]
Profil Partisipasi
Peneliti Utama RUT I-VI
Akan
tetapi korelasi pendidikan dan partisipasi penelitian ini tidak terdistribusi
secara merata kepada seluruh lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Trend
positif partisipasi doctor ini akan terkoreksi jika dilihat lembaga atau
universitas mana saja yang termasuk tujuh institusi riset yang mendominasi RUT
1-RUT II. Mereka adalah ITB, UGM, UI, IPB, LIPI, DEPTAN, BATAN. Dan dalam satu
RUT tertentu muncul juga ITS, UNHAS saling menggantikan posisi. Ini pulalah
mungkin yang menjadi alasan kenapa UI, ITB, UGM, IPB bisa masuk dalam tangga
World Class University (WCU).
Profil Tingkat Partisipasi Institusi
Pelaksana RUT I-VI (kelompok 8 besar dan 7 terbaik)
Selama
ini belum ada suatu penelitian dan pemetaan yang lengkap tentang kekuatan
peneliti perbidang ilmu atau per bidang studi di basis institusi/unit pelaksana
penelitian. Akibatnya pemerintah tidak bisa secara jernih membuat analisa dan
mengambil kebijakan, misalnya untuk menentukan tema-tema riset unggulan
nasional. Seharusnya disamping mempertimbangkan factor kebutuhan, juga sangat
hasur dipertimbangkan adalah kompetensi peneliti yang akan melaksanakannya
sebagai bagian ditetapkannya suatu riset itu harus diprioritaskan atau tidak. Apa
yang terjadi kemudian?misalnya, tiba-tiba beberapa bidang ilmu yang dibutuhkan
ternyata telah mengalami stagnasi kaderisasi peneliti. Misalnya di LIPI,
terjadi kekurangan pakar taksonomi. Indrawati Ganjar, pakar kapang rhizopus, dan
Mien Rifai, pakar fungi (jamur) sekarang telah lanjut usia, para pengganti
tidak terlihat. Semenjak meninggalnya pakar taksonomi sponge (spons) LIPI,
Iksan Amir, hingga kini belum ada penggantinya. Ketiadaan taksonom spons
menyebabkan sampel-sampel temuan di perairan Indonesia dikirim ke luar negeri
yang sangat rawan pencurian oleh pihak asing. Apalagi yang terjadi?dilakukannya
riset-riset yang tidak bermutu dan tidak bisa dipublikasikan dan dipatenkan.[26]
Prediksi Kapasitas Komunitas Riset
Berdasarkan 10 bidang Punas (A-J) RUT I-VI
Berdasarkan prediksi tim Monev KMNRT mengacu pada 10 topik Punas,
ditunjukkan bahwa beberapa bidang ilmu sudah membentuk critical mass
penelitinya.
“Gambar 12 menunjukkan minimal tiga model kurva ideal, yaitu (b, c dan d).
Tampak bahwa kurva (b) ditunjukkan oleh bidang punas B (Teknologi Kedokteran), C
(Teknologi Hasil Pertanian), F (Ilmu Kimia dan Proses), G (Teknologi Energi), H
(Elektronika dan Informatika) dan J (Dinamika Sosial, Ekonomi &
Budaya); sedangkan kurva (c) diwakili oleh bidang punas D (Rancang Bangun) , E
(Ilmu Bahan/Material Baru) dan I (Teknologi Perlindungan
Lingkungan). Meskipun bidang Teknologi Kedokteran menunjukkan kurva mendatar, namun kuantitas risetnya yang masih tergolong
sangat rendah, tidak dapat dinyatakan berada pada pencapaian posisi critical
mass. Kurva (d) ditunjukkan secara tepat oleh bidang punas A (Bioteknologi). Penurunan tajam seperti ini tentu harus memperoleh penjelasan luas,
mengapa bidang yang memperoleh prioritas dan fasilitas khusus sampai
menunjukkan kinerja semacam ini. Apalagi kurva stabilnyapun menunjuk pada kuantitas
rendah”
“Dari gambaran itu semua, critical mass diprediksikan
terjadi pada bentuk kurva (b), oleh karena salah satu indikasi tercapainya
critical mass adalah konsistensi dalam tingginya kuantitas dan kualitas hasil
riset pada periode waktu panjang tanpa dipengaruhi populasi perisetnya. Hal ini
menunjukkan keserasian kompetensi dan tingginya kapabilitas periset terhadap
bidang punas ristek yang ditetapkan. Meskipun bidang punas ristek G (Teknologi Energi), J (Dinamika Sosial, Ekonomi dan
Budaya) juga
menunjukkan bentuk kurva (b), namun kuantitas risetnya rendah, belum dapat
dikatakan bahwa critical mass nya telah tercapai. Dari data RUT, critical mass
diprediksikan telah dicapai di komunitas Teknologi
Hasil Pertanian
dan Teknologi Perlindungan Lingkungan. Bidang punas Rancang Bangun, tanpa memperhatikan RUT IV sebenarnya juga
mencerminkan tercapainya critical mass pada populasi perisetnya.
Diakui bahwa prediksi semacam ini belum tentu benar,
masih harus dicek silang dengan data populasi, potensi dan profil periset
nasional. Demikian pula, periode waktu observasi juga perlu diperpanjang,
paling tidak, sesuai dengan kurun waktu pelaksanaan RUT yang telah mencapai
tahun ke 9 pada tahun 2001 ini”[27]
Masih dalam konteks sumber daya penelitian, pemerintah Indonesia belum
punya data yang cukup akurat dan kebijakan yang jelas bagaimana merespon gejala
braindrain/imigrasi intelektual/peneliti terbaik Indonesia ke luar negeri.
Menurut data World Bank Tahun
2006, tingkat migrasi intelektual dari Indonesia ke luar negeri masih cukup
tinggi (4,3 dari skala 1-7), tetapi masih lebih rendah dari Malaysia (4,6),
Thailand (4,9) dan Singapura(4,9).[28]
Manajemen Penelitian Nasional
Selain factor pendanaan dan sumber daya riset, permasalahan lain yang
cukup mendapat perhatian adalah manajemen riset nasional yang dinilai sangat
berkontribusi menentukan kinerja riset
nasional. Tidak semua hal dituliskan terkait dengan manajemen penelitian
nasional mengingat luasnya cakupan, beberapa contoh misalnya tumpang-tindih
program riset, kurangnya sinergi/kolaborasi riset, minimal antara tiga
institusi dan akibatnya sulitnya mendiseminasi hasil riset.
Secara tujuan, tema, penetapan agenda, tenaga peneliti antara perguruan
tinggi dan lembaga ristek memang berbeda, tetapi bukanlah perbedaan yang
signifikan. Secara normatif riset di perguruan tinggi diakui tujuan, tema,
penetapan agendanya sangat dipengaruhi oleh tridarma perguruan tinggi, akan
tetapi dua lembaga sama-sama mengharapkan IPTEK, HAKI, dan Solusi sebagai hasil
risetnya. Lembaga ristek dan perguruan tinggi sama-sama memiliki peluang yang
sama untuk berkompetisi memperebutkan skim-skim penelitian di KMNRT.
Persoalannya adalah sedikitnya sinergi dan kolaborasi riset antara dua
lembaga ini secara komprehensif, terlihat keduanya bergerak secara
sendiri-sendiri. Demikian juga antara perguruan tinggi, meskipun Departemen
Pendidikan Nasional memiliki skema hibah penelitian PEKERTI, ada CKNet-INA
(Collaborative knowledge network-Indonesia), RAPID antara universitas-industri,
akan tetapi belum terbentuk suatu “budaya kolaborasi” yang kuat. Padahal kalau
ini terjadi banyak efesiensi penelitian yang bisa dilakukan misalnya dalam
pemanfaatan infrastruktur penelitian yang memang terbatas, sinergi di bidang
agenda riset, supervisi bersama, pelangganan jurnal ilmiah internasional
bersama, pengembangan SDM bersama, resource sharing, diseminasi hasil
penelitian dan termasuk pendanaan riset bersama, karena ada kesamaan untuk
tidak mengatakan tumpang tindih program.
[1] Lihat
Undang-Undang RI No. 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
[2] Tim
Indikator iptek, Pappiptek-LIPI,
Indikator IPTEK Indonesia 2006, Jakarta: LIPI Press, 2006
[3] diambilkan dari berbagai sumber
[4] Tim Indikator iptek, op cit
[5] Lihat Kedeputian Meneg Ristek Bidang
Program Riptek, Pemantauan dan Evaluasi
Manfaat serta Dampak Program RUT dan RUK Selama Periode Tahun 1993-2000,
Jakarta: KMNRT, 2001.
[6] Terry
Mart, Kesulitan dan Tantangan Penelitian
di Indonesia (Kasus Fisika Nuklir dan Partikel Teori), makalah ini pernah
dipresentasikan pada seminar Gabugna Perusahaan Farmasi Indonesia di Widya
Graha LIPI, Jakarta, 23 Juni 2007.
[7]
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Karya Inovatif Perguruan Tinggi Tahun 2007, Jakarta: DP2M, Dikti,
Depdiknas, 2007.
[8]
Lebih lengkap tentang historitas penelitian di Departemen Pendidikan Nasional,
khususnya di lingkungan Dikti lihat buku Pendidikan
Tinggi Indonesia Dalam Lintas Waktu dan Peristiwa, Jakarta: Dirjen Dikti,
Depdiknas, 2003. Lihat juga dokumen Pendanaan
Bersaing (Competitive Funding) di Pendidikan Tinggi, Laporan Studi Evaluasi
Internal Tahap awal, Majelis Pengembangan Dewan Pendidikan Tinggi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, Desember
2006.
[9] Program Rapid merupakan wahana yang memberikan
kesempatan bagi terwujudnya hubungan
kerja sinergis antara lembaga penghasil konsep dan teknologi dengan lembaga
manufaktur/industri. Selanjutnya produk-produk industrial mutakhir dengan
fitur-fitur baru, atau yang mampu memutus rantai ketergantungan dengan pihak
luar negeri, dimungkinkan beredar di pasaran sebagai hasil
penelitian-penelitian perguruan tinggi di dalam negeri. Dengan demikian, budaya penelitian (yang
bernuansa penciptaan produk secara berkelanjutan) akan tumbuh di dunia industri
Indonesia, dan budaya industri (yang bernuansa time to market) akan tumbuh pula di perguruan tinggi di Indonesia.
Tujuan
penelitian ini adalah untuk (1) menumbuhkembangkan budaya penelitian yang
menghasilkan temuan prospektif di pasaran dan baik dikembangkan menjadi produk
industrial yang dapat diproduksi berbudaya penelitian dan memberikan manfaat
bagi masyarakat, (2) mewujudkan kerjasama sinerji berkelanjutan antara
perguruan tinggi sebagai lembaga penelitian dan industri sebagai lembaga
manufaktur melalui penyeimbangan tarikan pasar dan dorongan teknologi, dan (3) mendorong
berkembangnya sektor riil berbasiskan produk-produk hasil penelitian dan
pengembangan dalam negeri sendiri untuk menumbuhkan kemandirian perekonomian
bangsa.
Ruang
lingkup bidang Rapid ditentukan secara top
down. Bidang yang dipilih merupakan bidang
yang dinilai sangat stratejik bagi peningkatan daya saing dan kemandirian
bangsa adalah (1) Pertanian dan Pangan, (2) Kesehatan, (3) Teknologi informasi,
(4) Energi, (5) Teknologi Manufaktur, dan
(6)
Kelautan dan Perikanan.
Luaran
yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) temuan teknologi dan atau produk
yang siap dikomersialkan dan dipasarkan sebagai hasil kegiatan kerjasama antara
dunia industri dan perguruan tinggi, (2) terbentuknya kerjasama sinerji antara
perguruan tinggi dengan industri sebagai lembaga manufaktur dalam keberlanjutan
hasil penelitian dan pengembangan menjadi produk industri, (3) terwujudnya
industri-industri nasional yang mandiri dan berbasis penelitian dan
pengembangan, yang mampu menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi dalam
persaingan pasar global, dan (4) kerjasama antara industri dan perguruan tinggi
menjadi tempat pembelajaran bagi mahasiswa dan pihak lain yang berkepentingan.
Dalam
program Rapid pihak mitra industri menjadi entry
point dalam penyusunan proposal yang
diusulkan oleh kelompok dosen, dimana pihak kelompok dosen mendukung
atau mensuplai teknologi apa yang
diinginkan oleh mitra industri. Kelompok dosen yang dapat mengusulkan: (1)
jurusan /
departemen
dan fakultas atau lembaga/pusat penelitian dalam satu perguruan tinggi atau
kerjasama antar perguruan tinggi dan (2)
kerjasama perguruan tinggi dengan lembaga litbang departemen atau LPND.
Pengusul
harus mempunyai track record dan road map
riset /teknologi yang jelas
terkait dengan bidang yang diajukan sesuai dengan Kerangka Acuan (kerangka
acuan ada pada dokumen terpisah). Pengusul tersebut harus mengusulkan proposal
Rapid melalui kelembagaan penelitian di
perguruan
tinggi.
[10] Tujuan Hibah Pekerti adalah untuk memberikan wadah
kepada dosen/kelompok peneliti yang relatif baru berkembang dalam kemampuan
menelitinya untuk dapat memanfaatkan sarana dan keahlian, serta mengadopsi dan
mencontoh budaya penelitian yang baik dari kelompok peneliti yang lebih maju di
perguruan tinggi lain dalam melaksanakan penelitian yang bermutu. Program ini
bertujuan pula untuk membangun kerja sama penelitian antarperguruan tinggi di
Indonesia. Bidang penelitian yang dapat diusulkan dalam program Hibah Pekerti
meliputi semua bidang ipteks. Kelompok peneliti yang relatif baru berkembang
berperan sebagai pengusul (selanjutnya disebut Tim Peneliti Pengusul, TPP),
sedangkan kelompok peneliti lebih maju di perguruan tinggi lain bertindak
sebagai Tim Peneliti Mitra
(TPM).
[11] Cakupan program ialah penelitian-penelitian yang dahulu
diwadahi dalam Penelitian Berbagai Bidang Ilmu (BBI) yang cakupannya meliputi
13 konsorsium pendidikan tinggi, yaitu kesehatan, hukum, sosial-humaniora,
pertanian, MIPA, pendidikan, rekayasa, ekonomi, keolahragaan, agama,
sastra-filsafat, psikologi, dan seni. Kajian Wanita termasuk dalam penelitian
Dosen Muda dengan spesifikasi peran dan partisipasi wanita dalam berbagai
sektor pembangunan dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan dan status wanita
sebagai mitra sejajar pria dan pengarusutamaan jender.
Penelitian
ini diperuntukkan bagi dosen yang belum bergelar doktor, dan belum berpangkat
Lektor Kepala. Khusus untuk SKW diperbolehkan dengan ketentuan bukan dari
bidang kajian wanita.
[12] Kedeputian Meneg Ristek
Bidang Program Riptek, Op Cit.
[13] Kompas,
Rabu, 23 Januari 2008, “cuma 1,1 Persen Dosen Mampu Meneliti”
[14] Mereka adalah pada urutan
pertama terdapat Muhilal (Medis) dengan poin 2145, lalu Tjia May On (Fisika)
dengan poin 1312. Sedangkan Koo Hendrik Kurniawan (Fisika) dengan poin 947.
Disusul Effendy (Kimia) dengan poin 817. Juga masih ada Terry Mart (Fisika)
dengan 791, serta Gunawan Indrayanto (Medis) dengan poin 708. Jumlah ilmuwan
yang sedikit inilah diantaranya yang selalu meneliti dan menulis di jurnal
internasional. Lihat http://wp.netsains.com
[15] Lihat Laporan Akuntabilitas
Kinerja Departemen Pendidikan Nasional tahun 2007, hal 135
[17] Terry Mart, “Inilah Olimpiade Fisika
Sebenarnya”, Kompas (1/10/2004). Tulisan ini penulis dapatkan dari http://staff.fisika.ui.ad.id/tmart/olimpiade.html . Tentang data topcite ini dapat langsung diakses ke www.slac.stanford.edu.
[18] Terry
Mart, Ibid
[19] Secara umum Hak Kekayaan Intelektual dapat
terbagi dalam dua kategori yaitu: Hak
Cipta dan Hak Kekayaan Industri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.(Pasal 1 ayat 1). Sedangkan Hak
Kekayaan Industri meliputi:
a. Paten
b. Merek
c. Desain Industri
d. Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu
e. Rahasia Dagang
f.
Varietas Tanaman
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 Tentang Paten:
Paten
adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain
untuk melaksanakannya (Pasal 1 Ayat 1). Ini diambilkan dari website Direktorat
Jenderal Perlindungan HAKI.
[20] Joseph E.Stiglitz, Ekonom
Amerika, pemenang nobel ekonomi 2001 dalam bukunya Making Globalization Work,
melihat secara kritis pemberian paten ini dalam konteks percaturan global yang
menurutnya belum adil lebih khusus lagi dalam hal Trade-Related Aspekct of
Intellectual Property Rights (TRIPs). Bagi Stiglitz, harus dirancang sebuah
rezim hak kekayaan intelektual yang adil dengan memperhatikan segenap
stakeholder di dalamnya termasuk konsumen. Betul bahwa hukum kekayaan
intelektual akan berperan besar dalam menstimulasi inovasi, tapi belum tentu
sepenuhnya benar secara linear akan juga meningkatkan kinerja ekonomi. Menurut
Stiglitz hingga saat ini sebetulnya belum ada jawaban yang pasti atas
pertanyaan-pertanyaan: apa saja yang dapat dipatenkan, seberapa luas
lingkupnya, dan berapa lama seharusnya usia sebuah paten. Dengan 120 ribu
permohonon/aplikasi paten setiap tahun, tidak mungkin setiap peneliti
mengetahui idea apa saja yang telah dipatenkan. Stiglitzh menunjukkan bagaimana
dilemma patent ini dalam kasus patent George Baldwin Selden untuk idenya atas
kenderaan manual roda empat (four-Wheeled manual), patent Microsoft, patent
Wright bersaudara dan Glenn H. Curtiss yang alih-alih untuk inovasi, patent
mereka justru menghambat inovasi karena besar/mahalnya hak monopoli dan
terjadinya kerancuan skop. Terjadilah apa yang disebut Stiglitz patent ticket,
yaitu patent memperlambat penelitian lanjutan dan inovasi, akibatnya terjadilah
situasi kalah-kalah (lose-lose situation). Bagi Stiglitzh tidak benar premis
bahwa jika kekayaan intelektual tidak diproteksi, tidak akan ada penelitian
sama sekali hal ini ditunjukkan oleh kasus Negara Swiss dan Belanda, hingga
tahun 1907 dan 1912 dua Negara ini tidak memiliki hak kekayaaan intelektual,
padahal mereka terkenal sangat inovatif. Lebih lengkap baca Making
Globalization Work, New York:W.W. Norton&Company, Inc.,2006 yang sekarang
sudah ada edisi terjemahannya oleh penerbit Mizan,2007
[21] Dari 139 negara yang menjadi
members WIPO ini, Indonesia adalah salah satu anggotanya yang juga meratifikasi
konvensi PCT (Patent Cooperation Treaty)
[22] lihat Website WIPO,
www.wipo.int/
[24] Dalam konteks perguruan tinggi untuk menjelaskan FTE atau partisipasi
dosen dalam meneliti, dianalogkan dengan
ahli acrobat, yang melakukan juggling di antara beban pengajaran dan beban
penelitian. Di satu sisi dituntut untuk
melaksanakan tugas pengajaran, namun di sisi lain diminta juga untuk melakukan
penelitian. Inilah salah satu alasan bagi beberapa orang untuk mengatakan
alasan rendahnya partisipasi penelitian dari kalangan dosen. Belum ada suatu
penelitian yang cukup komprehensif bagaimana dosen-dosen Indonesia membagi dan
memanfaatkan waktu efektif antara mengajar dan meneliti. Isu ini sebetulnya antara benar dan salah, karena
menyangkut juga soal kompetensi. Sebetulnya pengajaran dan penelitian bukanlah
suatu hal yang dikotomik. Telah banyak jalan keluar yang dicarikan, misalnya
Ernest Boyer dengan konsep Scholarship Reconsidered”nya yang mengatakan bahwa
pengajaran dan penelitian, keduanya bisa dilakukan. lihat
[25] Transformasi
itu juga dipengaruhi oleh factor profesionalitas professor yang belum diukur
secara baik. Menurut Terry Mart, keprofesionalan itu dapat diukur secara
sederhana, yaitu lamanya waktu yang dihabiskan seorang professor di
laboratorium dibandingkan dengan waktu yang dihabiskan diluar sebagai
konsultan, dosen, atau rektor universitas swasta. Kalau kita mengacu pada hasil
analisa KMNRT tersebut diatas bahwa rendahnya trend partisipasi professor dalam
memanfaatkan kesempatan meneliti jangan-jangan adalah menjadi indikator
kapabilitas professor.
[26] “Indonesia Krisis Taksonom,
Pihak Asing Mudah Mengambil Manfaat”, Kompas (22/8/2008). Kompas mengutip
pernyataan dari Kepala LIPI, Umar A Jenie.
[28] World Bank melakukan pemetaan
tentang pergerakan imigrasi intelektual di seluruh dunia dan menuliskan
hasilnya dalam beberapa buku diantaranya International Migration, Remittances
and Brain Drain. Salah satu isinya yang cukup menyentakkan misalnya 8 dari 10
orang Haiti yang lulusan pendidikan tinginya tinggal di luar negaranya dan
hampir 50 persen dari professional/ilmuwan Amerika Tengah dan Karibia melakukan
imigrasi intelektual. World Bank juga mengelaborasi sisi brain waste, remittances dari Brain
drain ini.
Tulisannya komprehensif dan bagus Pak, berapa lama ini risetnya? Boleh saya kutip ya Pak, salam.
BalasHapus