Pendahuluan
Times
higher Education-QS World University rangkings pada 2009 (pada 2010 keduanya,
THE dan QS pecah kongsi) merilis 500
perguruan tinggi yang memiliki reputasi World
Class Universities (WCU). Dari hasil rilis THE-QS tersebut, universitas
Indonesia Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM) dan Institut
Teknologi Bandung (ITB), masing-masing berada pada posisi 201, 250, dan 351
besar dunia. Sementara itu Unair mampu masuk ke dalam 500 ratus besar,
sementara IPB, Undip, UB masuk dalam 600 ratus besar.
Sementara
itu berdasarkan pemeringkatan Webometrics yang melihat ICT sebagai proxinya,
dikeluarkan pada Juli 2011, memasukkan beberapa universitas Indonesia dalam
1000 universitas terbaik dunia. Universitas Indonesia berada pada urutan 562
dunia, ITB 632, UGM 817, Universitas Gunadarma 845 dan seterusnya.
Jika
dilihat pada level Asia, seperti dirilis oleh QS pada 2011, perguruan tinggi
Indonesia relatif kompetitif, dimana UI bertengger di posisi 40, UGM di posisi
80, UNAIR di posisi 86, ITB di posisi 98, IPB di posisi 134, UNPAD di posisi
128, dan UNDIP masuk urutan 151-160.
Dan
kalau disigi lagi dalam bidang ilmu, perguruan tinggi Indonesia untuk tingkat
Asia, sekali lagi mengacu kepada QS, juga relatif sangat kompetitif dan antara
perguruan tinggi Indonesia sendiri dalam konteks ini juga bersaing satu dengan
yang lain. sebagai ilustrasi saja, dalam bidang ilmu Natural Science misalnya ITB berada pada urutan 41, UGM urutan 45,
UI urutan 53, IPB urutan 63. Dan di bidang IT & Enginering, ITB berada di
urutan 26, UI berada di urutan 52, UGM
urutan 60, IPB urutan 108, IPB 108, UNDIP 111, dan ITS 65. Kalau kita lihat
pada bidang ilmu life science and biomed,
UGM menempati urutan 21, UI 25, ITB 46 dan
seterunya. Sementara itu di bidang Social
Science UI berada di peringkat 14 di Asia, UGM 25, ITB 45 dan seterunya.
Secara keseluruhan pencapaian ini, menimbulkan
suatu fajar optimisme bahwa Indonesia bisa membangun dan mengembangkan suatu
perguruan tinggi yang mutu dan kualitasnya bertaraf internasional.[1]
Dibalik berita yang menggembirakan ini, pertanyaan mendasarnya adalah apa
sebetulnya yang dimaksud dengan perguruan tinggi bertaraf internasional atau
biasa dikenal dengan World Class
University (WCU). Apakah terbatas pada defenisi, kriteria, indikator yang
dibuat oleh lembaga perengkingan global saja atau lebih luas lagi. Bagaimana
kita mengetahui suatu universitas telah mencapai posisi WCU. Siapakah yang
berkompeten mengidentifikasi dan menilai suatu perguruan tinggi termasuk dalam
kategori WCU. Bagaimana metodologi
dan kriteria penilaiannya, apakah valid
dan reliable. Kenapa suatu negara
perlu memiliki suatu WCU. Apa untung dan ruginya
bagi suatu universitas, Negara (terutama Indonesia) dan komunitas internasional
dengan adanya WCU. Berapa universitas
yang diperlukan menjadi WCU dan berapa
lama dan berapa biaya yang diperlukan untuk mencapai dan
mempertahankan/menaikkan posisi dalam WCU.
Dan yang terpenting, bagaimana pandangan dan
kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap topik WCU ini.
Defenisi, Tolak Ukur dan Kriteria
Secara
etimologi, seperti yang ditulis Albatch, WCU didefenisikan dengan “ranking among the foremost in the world: of
an international standar of excellence” (Altbach, 2003).
Bagaimana
ditinjau dari terminologi? Henry M. Levin, Dong Wook Jeong, dan Dongshu Ou dari
Columbia University, menunjukkan bahwa defenisi-defenisi yang terkait dengan WCU sebetulnya masih samar-samar dan
bersifat toutologis. Akan tetapi menurut Henry dkk, variasi defenisi itu tetap
berkisar seputar riset, pengajaran, kontribusi universitas terhadap masyarakat
yang kita sebut dengan tridarma perguruan tinggi.
Henry
dkk. Menunjukkan beberapa kompleksitas yang terkait dengan pendefenisian itu dengan
mengutip berbagai contoh bagaimana WCU didefinisikan dengan mencantumkan
sumber-sumbernya. Mantan rektor Chinese University of Hongkong mendefenisikan
WCU: “it has faculty regularly publishing
their research in the top defining journals in their respective disciplines;
the graduate student body is truly international in origin; and the graduates
are employable anywhere in the world”. Ruth Simmons, rektor/president Brown
University mendefenisikan WCU: “a peer
review system in wich standars are set by leaders of the field and those
leaders are themselves challenged and judged by this process.”(Mohrman,
2005). Sementara itu Nolland Jhon mendefenisikannya “for universities, world-class standing is built on reputation and
perception-often seen as subjective and uncertain- and it requires outstanding
performance ini many events” (NIland, 2000).
Dari
kompleksitas defenisi dan berbedanya cara mendefenisikan, lantas siapa yang
berhak mendefenisikan. Pada saat ada lembaga-lembaga perengkingan dunia yang
mencoba merumuskan metodologi dan criteria penilaian, sekarang ada International Association of University
Presidents (IAUP) juga mendirikan a
world wide quality register dibawah koordinasi UNESCO dan OECD (Eaton,
2004).
Disamping
kompleksitas pendefenisian, menentukan apa yang menjadi tolak ukur dari suatu WCU
juga tidak sesederhana kriteria dan indikator yang dikembangkan oleh
lembaga-lembaga perengkingan global. Banyak sekali ilmuwan yang mencoba
memasukkan berbagai benchmark untuk
menyebut suatu universitasf sebagai WCU. Ada 12 pilar penting terkait dengan bencmark dengan segala perincian dan
ramifikasinya. Dua belas pilar itu adalah
excellence in research, academic freedom
and an atmosphere of intellectual excitement, self-governance, adequate
facilities & funding, diversity, internationalization: student, scholars,
and faculty from abroad; democratic leadership, a talented undergraduate body,
use of ICT, quality of teaching, connection with society/community needs, dan
within institutional collaboration. [2]
Koh
Aik Khoon dkk. Mencoba menggambarkan sebuah universitas yang disebut WCU (mereka menyebutnya hallmark
of World Class Universities) dimana kadang-kadang tidak semuanya bisa
dikuantifikasi. Karakteristik ini nampak dan hanya bisa dirasakan oleh universitas
yang telah masuk ke dalam world class
universities. Pertama, ada world-view
yang selalu forward looking, dimana sivitas
akademika hanya berfikir bagaimana memajukan kampus dan almamaternya dalam
ranah akademik dan intelektualitas. Karenanya mereka disibukkan mencari segala
kesempatan dan peluang untuk melakukan networking/kesempatan
berkolaborasi dalam penelitian dan pengajaran. Cutting-edge riset dasar ataupun terapan menjadi norm dalam world class universities.
Seperti dijelaskan Derek Bok, mantan Rektor Harvard University, “Patents Offer Universities an incentive to
work harder to identify valuable ideas discovered in their laboratories”.
Aura positif WCU menjadikan suasana kampus menjadi learning culture. “learning
is venerated and knowledge reigns supreme”. Selalu ada dorongan untuk terus
menjadi lebih baik, bagaimana meningkatkan jumlah noble laureates bagi professors mereka. Akibatnya terjadi
kohesivitas dalam kampus, esprit de corp
bangkit karena disatukan oleh prestasi akademik, penelitian bersama dan lain
sebagainya.[3]
Jamil
Salmi, Tertiary Education Coordinator of
The World Bank, mengidentifikasi
secara lebih jelas bahwa ada tiga karakteristik kunci dari WCU, pertama, concentration
of talent; kedua, abundant of
resources dan ketiga, favorable
governance. Dan interaksi yang dinamis dari tiga unsur ini menurut Salmi
menentukan kesuksesan dari WCU.
Dalam Concentration of talent ditandai dengan terbentuknya critical mass mahasiswa dan tenaga pengajar termasuk guru
besar terbaik. Kalau prasyarat ini ada mengutip Jamil Salmi akan terjadi suatu
proses snowboling effect, dimana …”where an outstanding scientist gets funded to do exciting
research, attracts other faculty, then the best students- —until a critical
mass is formed that has an irresistible appeal to any young person entering the
field”. Salah satu kuncinya adalah otoritas yang luas bagi satuan pendidikan
tinggi untuk melakukan sebuah proses seleksi yang sangat ketat bagi mahasiswa
(untuk sarjana maupun pascasarjananya) dan kewenangan penuh untuk menarik
peneliti dan guru besar terbaik untuk bergabung tanpa memandang latarbelakang
asal usul. Dalam proses ini, kata Salmi akan susah bagi perguruan tinggi yang
masih melakukan praksis proses academic
in breeding dan mobilitas internal
yang sedikit dari sumber daya manusia kampus untuk mewujudkan WCU.
Selain
itu, elemen kedua dari WCU menurut Jamil Salmi adalah abundant resources, diperlukan sumber daya yang besar untuk
mewujudkan dan mengelola sebuah WCU. Paling tidak menurut Salmi “These universities have four main sources of
financing: government budget funding for operational expenditures and research,
contract research from public organizations and private firms, the financial
returns generated by endowments and gifts, and tuition fees”. Menurut
Salmi, di Eropa Barat, Public Funding
merupakan sumber utama untuk membiayai pengajaran dan penelitian di perguruan
tinggi. Sementara itu National University
of Singapore yang kemudian pada 2006 menjadi perguruan tinggi swasta adalah
salah satu contoh universitas yang berhasil menggalang dana abadi dalam jumlah
yang fantastis mengalahkan jumlah yang dimiliki universitas di Inggris setelah
Cambridge dan Oxford University. Sementara itu menurut Salmi perguruan tinggi
di Amerika dan sedikit perguruan tinggi swasta di Jepang, berhasil mengggalang
sumberdaya dari dua sumber yaitu dana abadi dan dana penelitian bersaing dari
pemerintah yang dimenangkan oleh para dosen-dosennya. Dana yang cukup itulah
dipakai untuk menarik para professor dan peneliti terbaik di seluruh dunia.
Dan last but not least, menurut Jamil Salmi,
karakteristik terpenting niscaya ada dalam WCU
adalah appropriate governance, ditandai
dengan adanya kerangka regulasi, iklim kompetisi, otonomi manajerial dan akademik
yang baik. Diperlukan pimpinan perguruan tinggi yang menginspirasi, visi
strategis yang kuat, filosofi keunggulan dan kesuksesan, dan budaya refleksi
yang konstan, dan organisasi yang belajar dan berubah. Universitas-universitas di Amerika unggul bukan
karena hanya faktor kekayaan sumber dayanya, tapi juga karena independensi
relatifnya dari pemerintah, spirit kompetisi dst..
Sejalan
dengan penjelasan Salmi, Albatch juga menjelaskan ada beberapa karakteristik
penting yang harus ada pada world class
universities yang sepenuhnya lagi-lagi kadang-kadang juga tidak bisa
dikuantifikasi. Tapi beberapa diantaranya sudah masuk dalam catatan yang dibuat
Henry dkk seperti tertulis di atas. Pertama
pasti dia excellence in research.
Karenanya segala prasyarat untuk mencapainya juga disedikan oleh kampus seperti
top-quality professor,
suasana/fasilitas kerja akademik yang memadai dan menyenangkan, tenure and appropiate salaries and benefits.
Meskipun yang terakhir ini bukan segala-galanya, karena dalam dunia akademik
menurut Albatch, seorang professor yang baik adalah yang melihat pekerjaannya
bukan sebagai pekerjaan, tapi sebagai panggilan yang merupakan komitmen
intelektual. Kedua, kebebasan akademik dan atmosfir intelektual
yang kondusif adalah menjadi sentral sebuah WCU. Professor dan mahasiswa bebas
untuk mendapatkan ilmu dan mempublikasikan karya-karya mereka tanpa ada
ketakutan sangsi oleh pihak akademik atau atoritas-otoritas di luar kampus. Ketiga, good governance mesti menjadi hal yang melekat. Keempat, fasilitas yang
memadai/mendukung bagi kerja-kerja akademik adalah sesuatu yang esensial.
Perpustakaan, labor, internet dan segala sumberdaya elektronik yang memadai.
Professor-profesor harus memiliki kantor yang memadai. Kelima, support pendanaan
yang memadai, konsisten dan jangka panjang. Dukungan pendanaan untuk mendukung
keberadaan WCU akan terus meningkat seiring meningkatknya kompleksitas dan
biaya riset ilmiah.
Menurut
Albatch inilah yang menjadi problem dan tantangan pendidikan tinggi, karena
banyak pemerintah di berbagai negara, tidak lagi berinvestasi di pendidikan
tinggi. perguruan tinggi diarahkan untuk menghidupkan dirinya sendiri melalui
uang kuliah, fund raising dari
penjualan produk riset dan pelayanan universitas, dan berbagai modalitas pencarian
dana lainnya. Berbeda dari Salmi, Albatch mengingatkan kita, bahwa di Amerika
serikat saja Universitas swasta yang menempati rengking teratas dalam WCU saja
masih mendapatkan subsidi pemerintah dalam bentuk research grants, loans
dan grants to students, selain
tentunya mereka memiliki dana abadi yang sangat fantastis. Sepertinya Indonesia
masih menerapkan hal yang sama dengan tidak ada lagi pembedaan antara negeri
dan swasta, mungkin persoalannya adalah volume dan jumlah bantuannya yang perlu
ditingkatkan.[4]
Secara
tidak langsung, Charles M. Vest (President
of the Massachusetts Institute of Technology and author of Pursuing the Endless
frontier) dalam esainya “World Class Universities: American Lessons, mencoba menjelaskan kenapa universitas Amerika bisa
excellence dan competitive success. Ini notabene berkait dengan posisi mereka
dalam WCU. Menurut Charles M. Vest:
· The Diversity
of institution –from small liberal arts colleges to large public and private
universities- allows students to select the school that best matches their
needs.
· New assistant
professor have freedom to choose what they teach as well as research intensity
and renewal to both activities.
· We welcome
students, scholars and faculty form abroad. Their intellectual and cultural
richness help difine our institutions
· Support of
frontier research in our universities has long been an important responsibility
of the federal government, which award grants to researches on the basis of
their merit in a competitive markeplas of ideas.
· A tradition
of philanthropy, fostered by U. S. tax law, encourages alumni and others to
support our colleges and uiversities. Scholarship funds they provide allow
talented students from families of modest means to atted even the most costly
schools.
· Open
competition for faculty and students drive excellence.[5]
Kenapa World Class Universities
Gambaran
defenisi, bencmark yang luas, dan
sedikit samar-samar tidak menghambat upaya-upaya/keinginan beberapa lembaga
internasional untuk membuat perengkingan World
Class Universities dengan mengembangkan terus menerus metodologi dan
criteria penilaian tersendiri. Banyak
sekali lembaga perengkingan global yang melakukan penelitian, penilaian dan
perenkingan seperti Professional Ranking of World Class Universities; The Times
Higher Education-QS World University Rankings; Sanghai Jia Tong Universities;
NewsWeek dengan Top 100 Global Universitiesnya; Webometric ; G Factor; Wuhan
University; Regional and National Rankings; European Union; dan lain
sebagainya. Akan tetapi yang paling dirujuk adalah THE dan QS; Shanghai Jia Tong University;
Webometric. Lembaga-lembaga perengkingan global ini memiliki kriteria, indikator
dan bobot serta metodologi tersendiri dalam menghasilkan penilaian.[6]
Bagi
lembaga perengkingan yang menjadi permasahan bukanlah pada ranah bagaimana
mendefenisikan WCU itu. seperti yang ditulis THE-QS permasalahannya adalah
…”where to find the data will make
for reliable comparisons ”. Mereka lebih berkonsentrasi bagaimana terus
mengembangkan metodologi, modalitas untuk mendapatkan suatu data yang valid
dan reliable.
Atau seperti yang dikatakan Shanghai Jia Tong University It would be impossible to have a comprehensive ranking of
universities worldwide, because of the huge differences of universities in the
large variety of countries and the technical difficulties in obtaining
internationally comparable data. Our ranking is using carefully selected
indicators and internationally comparable data that everyone could check.
Semua
aktivitas penilaian tiga lembaga ini dilakukan secara ilmiah, yaitu dengan
metodologi yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, serta bisa diakses
bahkan dikritik oleh siapa saja dan selalu ada perbaikan metodologi untuk
penyempurnaan. Hasil survey dan perengkingan yang dilakukan oleh tiga lembaga
ini (comparing result), menurut
kajian Henry M. Levin dkk.[7]
dan Ben Sowter sendiri (Head of Research
THE-QS) sendiri menunjukkan suatu hasil yang tidak jauh berbeda (seperti bisa
dilihat dari matrix diatas) Sedikit sekali data yang menunjukkan adanya bias
patriotisme dalam penilaian ini. jika dilihat, misalnya hasil studi THE-QS dari
tahun ke tahun memperlihatkan suatu konsistensi hasil yang tidak banyak
perubahan.[8]
Akan
tetapi segala penilaian tidak jauh-jauh dari fungsi tridarma yang melekat pada
perguruan tinggi, seperti yang disebutkan oleh Henry dkk diatas. Memang ada
beberapa kriteria penting yang juga coba dikuantifikasi, seperti qualitas
pengajaran dengan indikator student-faculty ratio dalam THE-QS misalnya, menurut
beberapa kritikan ini tidak terlalu mampu menangkap kualitas pengajaran itu,
tapi secara metodologis harus diakui tidak mudah menurunkannya ke dalam
kriteria dan indikator-indikator.
comparing results
THE-QS
|
Shang-Hai
|
Webometric
|
Harvard
|
Harvard
|
MIT
|
Cambridge
|
Stanford
|
Stanford
|
Yale
|
Berkeley
|
Harvard
|
Oxford
|
Cambridge
|
Penn State
|
Imperial
|
MIT
|
Berkeley
|
Princeton
|
Caltech
|
Michigan
|
Caltech
|
Columbia
|
Wisconsin
|
Chicago
|
Princeton
|
Minnesota
|
UCL
|
Chicago
|
Illinois
|
MIT
|
Oxford
|
Cornell
|
THE-QS
komposisi penilaiannya melihat pada empat kriteria/pilar penting, yaitu kualitas riset, kualitas alumni, pandangan
dunia dan kualitas perkuliahan. Masing-masing kriteria/variable ini diturunkan menjadi
indikator-indikator dengan bobot penilaiannya. Kualitas riset berdasarkan
penilaian komposit peer review
dinilai 40 persen, rerata sitasi per dosen dengan bobot 20 persen; kualitas
alumni dengan indikator survey pengguna dengan nilai 15 persen; pandangan dunia
dilihat dari jumlah internasional
students dan internasional staff
masing-masing bernilai 5 per sen; kualitas perkuliahan dilihat dari indikator
rasio mahasiswa dan staf dibobot 20 persen.
Dalam
penelaian THE-QS indicator peer review
dalam variable/pilar kualitas riset diberikan bobot yang cukup tinggi, yaitu 40
persen. Ini yang banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan, karena
dikhawatirkan bias dan subjektif. Bagi
THE-QS, peer review adalah cara yang
sangat efektif untuk mengevaluasi suatu universitas. Ini adalah sebuah tipikal
penilaian, orang pintar menilai orang pintar lainnya (Sir Richard Sykes (former) Rector, Imperial College).
Menurut THE-QS siapa lagi yang berhak ditanya atau dijadikan responden tentang
perguruan tinggi dan bidang ilmu kalau bukan orang yang sudah malang melintang
di dalam bidang ilmunya itu.[9]
Kalau
kita telusuri, dalam indikator peer
review ini secara nyata dalam instrumen mereka siapkan berbagai multiple factors untuk menangkis
kemungkinan terjadinya bias. Misalnya dalam pertanyaan “please select up to
thirty universities from our international list (ada juga domestic list) that you regard as producing the best research in
the arts and humanities subject area” (ada lima area subject area yang ditanya)? Peer review hanya diminta untuk melist sebanyak 30 universitas dan tidak
merengking serta disebutkan dalam instrumen “your own university will be
excluded from your considerations”. Ada 5000 responden yang memberikan respon
dan katakanlah untuk lima bidang area studi mereka memberikan jawaban rata-rata
20, maka ada sekitar 100 ribu data yang masuk ke THE-QS. Menurut data terakhir
responden untuk peer review sudah
mencapai angka 6000 ribu lebih akademisi
yang ahli di bidangnya masing-masing di seluruh dunia.
Ini yang secara tajam dikritik oleh Van Ran
(2005). Menurutnya bagaimana realibitas
data bagi suatu pengukuran yang subjektif dengan luasnya “cognitive distance”
antara evaluating peers dan evaluated objects bisa dipercaya atau
dipertanggungjawabkan. “he argues that
reliability of such subjective evaluation is quite sensitive to the composition
of the sample” (e.g. own institution, geographic distribution, and fields of
expertise).[10]
Shanghai
Jiao Tong memakai standar penilaian dengan melihat empat kriteria/variable
penilaian yaitu kualitas akademik, kualitas staf, hasil riset dan ukuran
institusi dengan indikator-indikatornya, yaitu lulusan yang memenangkan nobel
(10 %); staf pemenang nobel (20 %); hasil riset staf dikutip dalam 21 bidang (20
%); artikel dalam nature and science
(20 %); artikel dalam jurnal internasional (20 %); kinerja akademik relatif
terhadap ukuran institusi (10 %).
Apakah ada patriotisme dalam perengkingan?
Keinginan untuk menjaga objektivitas, serta keluhuran niat untuk melihat posisi
perguruan tinggi China dengan perguruan-perguruan tinggi di dunia akan terlihat
dari hasil perengkingan yang dilakukan SJT. Dalam urutan seratus besar hasil
perengkingan SJT, tidak seenaknya mereka memasukkan perguruan tinggi China,
karena memang belum layak masuk dalam standar penilaian ( dilihat dari
indicator Alumni, Award, HiCi, N &S, SCI, dan Size) untuk posisi top hundred.
Tidak ada perguruan tinggi China yang masuk dalam top hundred yang dibuat oleh orang China
sendiri, SJT, padahal dalam daftar THES-QS
2007, tiga perguruan tinggi China termasuk dalamnya, yaitu Peking
University, Thsinghua University dan Fudan University, termasuk juga dua
perguruan tinggi Hongkong, yaitu The Chinese University of Hongkong dan
Hongkong University of Science and Tecno.
SJT mencoba menempatkan sesuai dengan urutan
rankingnya, tanpa melihat asal-usul. Dalam urutan sepuluh besar perguruan
tinggi seperti Harvard, Oxford, Cambridge, Massachussetts Inst Tech (MIT),
Columbia, dan lain-lain adalah perguruan tinggi yang memang di dalam survey
lembaga manapun, termasuk THES, akan menuliskannya sebagai perguruan tinggi
yang memang layak diposisinya itu.
Di
dalam rangking seratus besar, secara objektif dan “lapang dada” lembaga survey
China ini juga menempatkan secara terhormat enam perguruan tinggi Jepang
sebagai perguruan tinggi yang layak ditiru. Ke enam perguruan tinggi Jepang itu
adalah Tokyo University, Kyoto University, Osaka University, Tohoku University,
Nagoya University, dan Tokyo Inst Tech. [11]
Sementara
itu Webometrics melihat pemanfaatan ICT sebagai proxinya dengan indicator:
ukuran website (20%); link/jumlah sambungan yang diterima dari luar (50 %);
Jumlah Rich Files (15 %); Scholars: kandungan publikasi ilmiah, laporan, jumlah
sitasi dsb (15%).
Consistency of Results
2007
|
2006
|
2005
|
2004
|
Harvard
|
Harvard
|
Harvard
|
Harvard
|
Cambridge
|
Cambridge
|
MIT
|
Berkeley
|
Yale
|
Oxford
|
Cambridge
|
MIT
|
Oxford
|
MIT
|
Oxford
|
Caltech
|
Imperial
|
Yale
|
Stanford
|
Oxford
|
Princeton
|
Stanford
|
Berkeley
|
Cambridge
|
Chicago
|
Caltech
|
Yale
|
Stanford
|
Caltech
|
Berkeley
|
Caltech
|
Yale
|
UCL
|
Imperial
|
Princeton
|
Princeton
|
MIT
|
Princeton
|
Ecole Polytechnique
|
ETH Zurich
|
Sumber dari Makalah Ben Sowter, 10 Mei 2008 yang dipresentasikan pada
acara Video Tele conference Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen
Pendidikan Nasional.
Biaya World Class University
Sebuah
ilustrasi menarik dituliskan oleh Albatch: “Jhon D. Rockefeller once asked
Charles W. Elliot, president of Harvard University for almost forty years in
the late nineteenth century, what it would take to create the equivalent of a
world-class university. Eliot responded that it would require $50 million and
two hundred years. He was wrong. At the beginning of the twentieth century, the
university of Chicago became a world-class university in two decades for
slightly more than $50 million-donated by rockefeler himself. The price tag for
such an endeavor has ballooned since then, not only because of… now it might take
more then $500 million along with clever leadership and much good luck”[12]
Ilustrasi
in menceritakan betapa tidak murahnya ongkos untuk menjadi dan mempertahankan
WCU. Pengakuan Charles M. Vest dalam World
Class Universities: American Lessons yang menjelaskan kenapa perguruan
tinggi Amerika seperti universitas yang dipimpinnya (MIT) excellence dan competitive success, salah satunya adalah support of frontier research dari
pemerintah/atau bantuan dana untuk penelitian dan berkembangnya tradisi philanthropy yang salah satunya dalam
bentuk dana abadi dan beasiswa-beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu tapi
pintar.[13]
Umumnya,
kalau kita lihat postur pembiayaan universitas kelas dunia, mereka memiliki
kesiapan/kecukupan dana dan kecanggihan fund
raising. Katakanlah sebagai contoh kita ambil University of California Los
Angeles, Arizona State University, University of London, Oklahoma State
University, Yale University dan Harvard University. Pendapatan terbesar mereka
disumbangkan dari dana abadi dan kontrak penelitian, penjualan layananan
seperti seminar, kursus, kesehatan, atletik, publikasi, asrama mahasiswa,
penyewaan rumah, jasa boga, dan sebagainya. Maksimal hanya 23-25 persen saja
dari seluruh pendapatan itu berasal dari pendapatan uang kuliah.
Misalnya kita lihat sebuah data tahun 2001 yang
relatif lengkap menjelaskan bagaimana nilai endowment
fund suatu perguruan tinggi dibandingkan dengan anggaran tahunan mereka,
bagaimana presentase pendapatan dari endowment
dalam totalitas anggaran dan bagaimana rasio endowment fund dengan anggaran
tahunan.
Universitas
|
Nilai endowment
|
Anggaran tahunan
|
%Pendapatan Endow. Dalam anggaran
|
Rasio Endow dan Anggaran Tahunan
|
Harvard University
|
$ 17.951
|
$ 2.062
|
28 %
|
8,7
|
Yale University
|
10.700
|
1.350
|
25 %
|
7,9
|
University of Texas system
|
9.364
|
6.968
|
Ttd
|
1,3
|
Princetonn University
|
8.359
|
699
|
22%
|
12,0
|
Stanford University
|
8.250
|
1.970
|
22%
|
4,2
|
MIT
|
6.135
|
1.380
|
Ttd
|
|
University of California
|
4.703
|
9.480
|
2%
|
4,4
|
Emory University
|
4.316
|
ttd
|
Ttd
|
Ttd
|
Columbia University
|
4.293
|
1.418
|
11%
|
3,0
|
Texas A&M university System and Foundation
|
4.031
|
1.972
|
2%
|
2,0
|
Washington university at St louis
|
3.952
|
1.236
|
11%
|
2,3
|
University of Chicago
|
3.516
|
1.522
|
11%
|
2,3
|
University of Michigan
|
3.614
|
1.066
|
2%
|
3,4
|
University of Pennsylvania
|
3.382
|
1.428
|
8%
|
2,4
|
Northwestern University
|
3.256
|
1.381
|
8%
|
2,4
|
Sumber: Washington University Finantial
Reports dan Website masing-masing. Ini diambilkan dari Manajemen Perguruan Tinggi Modern, R. Eko
Indrajit dan R. Djokopranoto.[14]
Endowment fund ini setiap tahun terus bertambah, karena kecanggihan
manajemen pengelolaan dana abadi dalam menginvestasikannya sehingga berpengaruh
signifikan bagi pendapatan universitas secara total. Dalam laporan terbaru yang
dirilis oleh National Association of
College and University Business Officers Endowment Study pada 30 Juni 2006
posisi nilai pasar asset endowment fund
beberapa universitas World Class yang disebutkan diatas bertambah banyak.
Harvard university memiliki dana abadi US$28, 915, 706.000 (kurang lebih US$ 29 miliar), Yale University
pada posisi kedua sebanyak US $ 18.030.600.000. Stanford University punya dana
abadi US$14.084.676.[15]
Berdasarkan
data 2005, waktu itu dana abadi Harvard University berjumlah US$25,9 Miliar atau setara dengan
Rp.234 Triliun dengan asumsi kurs 9000 per US dolar, hasil investasinya
mencapai 19,2 % per tahun. Yale University dengan dana abadi US$ 12 Miliar
hasil investasinya 19,4 % per tahunnya.
Bandingkan dengan universitas Indonesia yang sudah masuk ke dalam World Class Universities misalnya ITB,
hingga 2006 baru memiliki dana abadi sebanyak 10 miliar tentu perlu kerja
keras. Jangan dibandingkan dengan universitas besar yang disebutkan di atas,
Nanyang University (hasil THE-QS 2008 masuk seratus besar) sudah memiliki dana
abadi sebesar S $ 900 juta.[16]
Dengan
dana abadi raksasa ini universitas-universitas bertaraf internasional
menghidupkan dan menfasilitasi sivitas akademika mereka untuk melakukan
penelitian, inovasi dan invensi, menghasilkan patent, buku, publikasi
internasional. Kalau kita perhatikan profil pembiayaan universitas pada sisi
pengeluaran, maka pengeluaran terbesar (tentu diluar dana belajar mengajar,
termasuk gaji) dialokasikan untuk riset (13-24 persen).
Tidak
salah kiranya apa yang dikatakan Charles M. Vest, the former President of the
Massachusetts Institute of Tecnhology “ the factors I believe contribute the
most to the excellence and competitive success of U.S. higher Education
include:…a tradition of philanthropy, fostered by U.S. tax law, encourages
alumni and others to support our colleges and universities…”
Produk
yang dihasilkan adalah produk yang bermutu dan bernilai tinggi. Sehingga hasil
karya Universitas adalah karya yang layak jual dan merupakan pendapatan penting
yang nominal kontribusinya terhadap pendapatan total melebihi return invest dari dana abadi. Kontrak
penelitian dan ditambah penjualan layanan universitas, ditambah sumbangan
pemerintah (sumbangan pemerintah pusat dan federal tidak berkurang), di mana
angka total mencapai 47 persen dari seluruh pendapatan. Beberapa universitas
memperoleh pendapatan terbesarnya dari penjualan layanan, seperti UCLA mencapi
43 persen dan University of London mencapai 61 persen dari total pendapatan. [17]
Viabilitas World Class University
Rasanya
relevan kita kutipkan, apa yang dituliskan Philip G. Altbach seorang professor
pendidikan di Boston College bagaimana menyikapi wacana WCU ini. Beliau
menuliskan dengan mengingatkan bagaimana kesimpulan sosiolog Amerika David
Risman berdasarkan pada observasinya terhadap Universitas-univesitas di Amerika
pada tahun 1950-an yang ketika itu terjebak pada orientasi semuanya ingin
menjadi seperti Harvard, Berkeley dan beberapa universitas top lainnya,
sepertinya kembali terjadi pada Universitas-universitas yang ada di dunia.
Secara arif Albatch mengingatkan kita untuk menilai secara hati-hati apa
sebetulnya kebutuhan kita, kondisi sumber daya, dan kepentingan jangka panjang
Masih menurut Altbach, sebuah Negara mesti
mengedepankan perspektif yang realistis dan objektif. Banyak Negara dengan
banyak universitasnya, tapi hanya beberapa saja yang memang dikondisikan menjadi
WCU. Kalau kita, Indonesia pernah mencanangkan promising universities dengan jumlah yang cukup banyak, rasanya
mengikuti Altbach tidak semuanya harus didorong menjadi WCU.
Tidak semua Universitas terbaik, WCU, adalah
sebuah universitas dengan nilai terbaik di semua fakultas, prodinya. Misalnya
Harvard universitas nomor satu dunia, akan tetapi dia bukanlah sebuah
universitas yang juga berjaya/paling hebat dibidang engineering misalnya. Bagi
Altbach lebih baik, sebuah universitas yang dipromosikan menjadikan WCU fokus
pada kebutuhan yang relevan bagi kebutuhan nasional dan regional ekonomi dan
sosialnya. Menurut Altbatch, Negara Malaysia sudah berada jalan yang benar
dengan fokus pada disiplin informasi dan teknologi persawitan yang sangat
penting bagi ekonomi lokalnya.
Seperti
kebanyakan Negara tetangga di Asia, umumnya universitas mereka yang masuk WCU
adalah universitas negeri yang dibantu oleh Negara, maka Indonesia untuk kontek
mempertahankan dan menaikkan peringkat memberikan dana stimulasi. Tidak kalah
pentingnya adalah memberikan otonomi dan kebebasan akademik di perguruan tinggi
adalah tampaknya stimulator lain yang mendorong kampus untuk terus
mengembangkan diri mereka dalam ranah akademik ini.
Melanjutkan
Albatch, Prof. Jamil Salmi menawarkan tiga alternatif jalan, dengan segala
tantangan dan konsekwensi biayanya, yang bisa dilakukan menuju WCU yaitu pertama,
upgrading existing institution; kedua,
merging existing institution; ketiga, creation
new institution. Secara ringkas
segala untung dan rugi dari masing-masing jalan dapat dilihat dari table yang
berikut ini:
approach
condition
|
Upgrading Existing
Institutions
|
Merging Existing
Institutions
|
Creation New
Institutions
|
Ability
to Attract
Talent
|
Difficult to renew
staff and change the
brand to attract top
students
|
Opportunity to change
the leadership and to
attract new staff.
Existing staff may
resist
|
Opportunity to select
the best (staff and
students).
Difficulties in
recruiting top
students to
“unknown”
institution. Need to
build up research and
teaching traditions.
|
Costs
|
Less expensive
|
Neutral
|
More expensive
|
governance
|
Difficult to change
mode of operation
within same
regulatory framework
|
More likely to work
with different legal
status than existing
institutions
|
Opportunity to create
appropriate
framework
|
Institutional
Culture
|
Difficult to transform
from within
|
May be difficult to
create a new identity
out of distinct
institutional cultures
|
Opportunity to create
culture of excellence
|
Change
Management
|
Major consultation
and communication
campaign with all
stakeholders
|
Normative” approach
to educate all
stakeholders about
expected norms and
institutional culture
|
“Environmental
adaptive” approach
to communicate and
socially market the
new institution
|
Terlepas
dari jalan alternative yang diberikan oleh berbagai pakar diatas, tidak sedikit
perguruant tinggi di dunia yang
menemukan alasan kuat untuk tidak ikut-ikutan dengan upaya meretas jalan menuju
WCU. Misalnya Christine King, vice-chancelor of Staffordshire university di
Inggris, menyadarkan kita bahwa WCU itu sebetulnya lebih banyak menekankan pada
fungsi riset dan sedikit menafikan banyak universitas yang mencoba fokus pada students success and enterprise,
misalnya. Baginya “we’re not based nobel prizes, but student success and skills
as well as rebuilding and regenerating communities. That’s the lifeblood of
what we do and you need more of that than you need nobel prizes-winners”.[18]
Sikap dan Kebijakan
Apa
yang dikatakan Albatch dan Christine King mengingatkan bahwa WCU hanya sekedar proxi bukan prioritas utama. WCU menjadi
benchmark dalam melihat
penyelenggaran pendidikan yang bermutu dan berkualitas. Pemerintah Indonesia
mendorong agar semua satuan pendidikan, termasuk perguruan tinggi agar memenuhi
level standar minimal pendidikan nasional. Bagi perguruan tinggi yang berhasil
melewati level nasional dan kompatibel dengan standar internaional seperti WCU
ini didorong untuk terus maju menjadi WCU. Untuk Indonesia tidak banyak
universitas yang melewati standar nasional pendidikan dan masuk ke dalam top
universitas dunia.
Dalam
benchmarking kata kuncinya adalah
pengukuran dan pembandingan, sistematis dan terus menerus, terhadap unggulan
bisnis, diiringi dengan pengambilan langkah perbaikan kinerja.[19]
Kedua, memacu perguruan tinggi (baca sivitas academika kita) untuk selalu
produktif melahirkan publikasi, invensi, dan patent yang diakui secara
internasional. Karena performa WCU hanya bisa dipertahankan dengan melakukan
produktifitas penelitian, menghasilkan publikasi-publikasi di Jurnal
Internasional dan prestasi-prestasi internasional lainnya. Indonesia tidak akan
hanya melihat posisinya dengan Negara-negara maju, tapi juga bergambar juga
dari Negara di Regional ASIA, ASEAN dan Negara dunia ketiga lainnya. Keempat,
akan menjadi ukuran pencapaian pembangunan pendidikan Indonesia, terutama
pendidikan tinggi.
Semangat
dasar ini yang ditunjukkan Shanghai Jio Tong University (SJT) yang bisa dibaca
dalam publikasi mereka. Di dalamnya dikatakan oleh SJT bahwa our original purpose of doing the rangking
was to find out the gap between Chinese universities and world-class
universities, particularly in terms of academic or research performance. It has
been done for our academic interest without any outside support.
Pemerintah
Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terutama kebijakan
pada 2008-2010, seperti nampak dari alokasi dana pendidikan tinggi, baik yang
sudah WCU maupun beberapa yang sangat berpotensi besar menjadi WCU, dalam
konteks benchmarking WCU ini sedikitpun tidak mengurangi komitmen mereka untuk
terus menfasilitasi. Tidak ada universitas yang WCU di dunia ini yang tidak
dibantu oleh negaranya, kendatipun dia adalah universitas swasta kaya dengan
nilai TRIP endowment yang tidak
terbatas sekalipun.
Disamping
itu, World Class Universities, seperti dijelaskan Charles M. Vest mantan
President of the Massachusetts Institute of Technology, secara positif harus
dilihat sebagai peluang untuk bekerjasama bukan berkompetisi. Dia menyebutnya
dengan istilah meta-university, di
mana dengan berkembangnya teknologi memungkinkan terjadinya kolaborasi global
dosen dan peneliti secara cepat akan menjadikan perguruan tinggi lebih maju.[20]
Bagi
universitas Indonesia yang berusaha menuju WCU, tentu pemerintah tidak bisa
menghalang-halangi. Karena dalam beberapa kasus di Universitas Amerika seperti
dijelaskan dengan baik oleh Frank Hsia-San Shu dan seperti University of
California (UC) dan Indian institute of Technology bahwa menjadi WCU bisa
dilakukan dalam waktu yang tidak relatif lama dan dengan tidak hanya
mengandalkan atau menjadikan pembiayaan sebagai halangan/faktor terbesar.
Menurutnya transformasi UC menjadi WCU sebetulnya didukung oleh master plan dan kepemimpinan rektor dan
kerjasama kolega yang sangat kuat. Walaupun bukan universitas swasta yang
sangat kaya seperi Harvard, Yale, dan Standford, UC dengan hampir semua
universitasnya masuk dalam jajaran elit univiersitas top dunia. Indian
Institute of Technology, walaupun berdiri pada tahun 1960, karena focus pada research-intensive model, mereka mampu
menunjukkan bahwa mereka bisa tumbuh dengan sangat cepat menjadi WCU[21].
Di samping itu, bagi universitas
yang telah menjadi WCU dan universitas sangat berpotensi menjadi WCU, tidak
salah kiranya mengembangkan philanthropy
untuk mendukung pencapaian dan pengukuhan universitasnya dalam konteks WCU.
Ketika dana abadi itu ditempatkan memerlukan kemampuan manajemen portofolio
yang sangat canggih. Hal ini telah dilakukan oleh UI, UGM dan ITB yang bisa
dijadikan contoh bagi Universitas-Universitas lain yang bermimpi ingin menjadi
WCU.
[1] Lihat WWW.topuniversities.co. Perlu juga
kita ketahui dalam release data
terbaru tersebut, THES menobatkan National
University of Singapore (NUS) di urutan ke-30 dunia sekaligus sebagai yang
terbaik di Asia Tenggara. Chulalongkorn University dari Thailand untuk pertama
kali masuk daftar 200 besar dengan menempati posisi 166 dunia bersama dengan
Universitet Gottingen, Jerman
[2] Lihat What Is A
World Class University?, Henry M. Levin, Dong Wook Jeong, dan Dongshu Ou,
2006. Makalah disampaikan pada Conference
of the Comparative and International Education Society. Henry M. Levin
merupakan the William Heard Kilpatrick Professor of Economics and Education,
Teachers College, Columbia University. Dong Wook Jeong and Dongshu adalah
Research Assistants at Teachers College.
[3] lihat
tulisan Koh Aik Khon dkk, The Hallmark of World Class Universities, tt, tt.
[4] Philip. G. Altbach,
Cost and Benefits of World Class Universities, 2004. Copy right tulisan
ini menjadi milik American Association of University Professors Jan/Feb.
Altbach adalah Professor of Higher Education and Director of the Center for
International Higher Education at Boston College.
[5] Charles M. Vest, World Class Universities: American
Lessons, Center for International Higher
Education, Boston College. 2004. Boston College menerbitkan artikel ini setelah
mendapat izin dari THS-QS. Charles M. Vest adalah President of the
Massachusetts Institute of Technology and Author of Pursuing the Endless
Prontier: Essays on MIT and the Role of Research Universities (MIT Prss).
[6] Publikasi pertama THE-QS tentang World University
Rangking adalah pada 2004 yang mencoba melist 200 universitas terbaik di dunia.
Ini adalah sebuah kolaborasi antara THE dan QS. THE sendiri sudah berjalan
semenjak 1971. Majalah mingguan ini didistrubusikan kepada para akademisi di UK
dan dunia internasional terutama yang berasosiasi dengan The Times. Tapi saying
dua kolaborasi ini berakhir pada 2010. Sementara itu Shanghai Jiatong
University yang berbasis di China mendirikan World-Wide Ranking of Universities
mulai pada 2003. Pada tahun 2005 Shanghai Jiatong University memasukkan artikel Art and Humanities index dalam
criteria penilaian menjawab berbagai kritikan. Webometric didirikan atas
inisiatif Cybermetrics lab, sebuah kelompok penelitian yang dimiliki Consejo
Superior de Investigaciones Cientificas (CSIC), sebuah lembaga penelitian
terbesar di Spanyol.
[7] Henry M. Levin dkk. Op Cit
[8]Ben Sowter, World
University Rankings, Methodology and Indonesia’s Performance, sebuah
makalah yang dipresentasikan pada 10 Mei 2008 di Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.
[9]THE-QS menjelaskan bagaimana proses rekrutmen dari respondent peer review. 1) Previous respondents are invited to respond again -
to update their opinions based on anything they may have learned since their
prior response. 2) We select 180,000 addresses from the World Scientific
database based on balance of field prepresentaion and geography. Previous
respondents to the survey are excluded. 3) We select slightly over 13,000
addresses from the International Book Information Service (IBIS) operated by
Mardev (a division of Elsevier). These supplement the shortfalls of the World
Scientific database - particularly in the Arts & Humanities. Again, prior
respondents are excluded. Selanjutnya silahkan kunjungi www.topuniversities.
[10] Kritikan Van Ran kami
kutipan dari Henry M. Levin. Lebih
lengkap dapat dilihat presentasi beliau (Van Ran), The Challenges of University Ranking, How Can We Identify the best
Universities In The World? Leiden University, February 16, 2006.
[11] Lihat websitenya Shang Hai Jiatong University.
[12] Philip. G. Altbach, Op Cit.
[13] Charles M. Vest, Op Cit.
[14] R. Eko Indrajit dan R. Djokopranoto, Manajemen
Perguruan Tinggi Modern, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006.
[15] Lihat http://www.nacubo.org/pressroom. Silahkan lihat website
masing-masing universitas terutam dalam Annual Report mereka.
[16] lihat http://www.cintaitb.ac.id/index. Di dalamnya ITB
membahas bagaimana perbandingan return invest dari dana abadi/dana lestari dari
berbagai Negara dibandingkan dengan ITB.
[17] R. Eco Indrajit, Op.
Cit.
[18] Cristine King, World Class? Dalam
Guardian.co.UK/2003/Nov/18/highereducation.worldclass10
[19] Lihat definisi Benchmarking yang dibuat oleh Bencmarking Clearing House:
“benchmarking is a systematic and continuous measurement process, a process of
continuously measuring and comparing an organization business processes against
business process leaders anywhere in the world to gain information which will
help the organization take action to improve its performance”
[20] M. Vest. Op Cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar