Di tengah “kegembiraan” kenaikkan anggaran
pendidikan sebesar 20 persen dari total jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, sesuai amanah Undang-Undang Dasar 1945, rasanya tidak salah kiranya
kita mengingat sejenak, terutama sekali bagi pemerintah, sebuah tantangan besar
yang ada dalam batang tubuh dunia pendidikan Indonesia itu sendiri yang selalu
kita bawa-bawa, yaitu paradoks
atau ironi pendidikan.
Ini adalah tantangan terberat pendidikan saat ini. Paradoksal itu kurang lebih digambarkan oleh beberapa premis tidak linear berikut, semakin lama masa bersekolah seorang anak, ternyata semakin rendah tingkat kemandiriannya (BPS, 2003). Dan semakin lama masa bersekolah putra-putra Indonesia, tidak berkorelasi positif dengan kenaikkan pendapatan perkapita rata-rata penduduk Indonesia (UNESCO-OECD). Dan terakhir adalah, jumlah pengangguran terdidik yang tidak menunjukkan trend menurun, bahkan cenderung terus bertambah dari tahun ke tahun.
Ini adalah tantangan terberat pendidikan saat ini. Paradoksal itu kurang lebih digambarkan oleh beberapa premis tidak linear berikut, semakin lama masa bersekolah seorang anak, ternyata semakin rendah tingkat kemandiriannya (BPS, 2003). Dan semakin lama masa bersekolah putra-putra Indonesia, tidak berkorelasi positif dengan kenaikkan pendapatan perkapita rata-rata penduduk Indonesia (UNESCO-OECD). Dan terakhir adalah, jumlah pengangguran terdidik yang tidak menunjukkan trend menurun, bahkan cenderung terus bertambah dari tahun ke tahun.
Sebuah data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) data sakernas
2003, yang menyigi bagaimana korelasi antara variable status pekerjaan dan tingkat
pendidikan, terlihat dengan jelas bahwa mayoritas pekerja lulusan perguruan
tinggi kita bekerja menjadi buruh/karyawan/pekerja yang dibayar, yaitu 83,18
per sen. Kecil sekali
yang mencoba mengambil resiko membuka usaha sendiri dan mempekerjakan orang
lain. Justru Pekerja tidak lulus SD, 14, 98 persen diantara mereka lebih mampu
untuk mandiri dan mampu mempekerjakan orang lain. Sementara itu yang lulus SD,
13,53 persen berani mengambil resiko dan mempekerjakan orang lain.
Sebuah riset dan kajian yang dilakukan oleh
UNESCO dan OECD secara longitudinal/time series (mulai dari tahun 1960 sampai
2000, selama kurun waktu 40 tahun) juga memperlihatkan bagaimana korelasi
positif lama bersekolah dan kenaikan
rata-rata pendaptan perkapita/kesejahteraan tidak terjadi di Indonesia. Mulai
dari tahun 1960an dari rata-rata lama bersekolah masyarakat Indonesia waktu itu
sekitar 1,5 tahun, di mana hampir 90 persen dari penduduk kita adalah buta
huruf, sampai tahun 2000 dengan rata-rata
lama bersekolah kita sudah mencapai 7 tahun lebih pendapatan perkapita kita
tidak naik sesuai ekspektasi seperti dicapai oleh Thailand, Malaysia. Selama 40
tahun kita mendidik anak-anak bangsa, mulai dari 70 dolar pada tahun 60an, pada
2000 kita hanya sanggup pada pendapatan perkapita 1300 dolar.
Perangkap pertumbuhan ekonomi yang rendah dan
ketersedian lapangan pekerjaan yang terbatas, serta orientasi pekerjaan lulusan
lembaga pendidikan untuk menjadi karyawan/professional, menimbulkan masalah
lain yang juga relatif berat: pengangguran kalangan terdidik yang dari tahun ke
tahun trendnya terus meningkat. Sebagian besarnya disumbangkan
oleh lulusan perguruan tinggi kita. Pada tahun 2004 pengangguran terdidik
tingkat sarjana/diploma berjumlah 348 ribu orang. Jumlah ini dari tahun ke tahun
terus merangka naik. Terakhir tahun 2007, pengangguran terdidik dari perguruan
tinggi mencapai angka 409 ribu orang. Memang banyak variable dan factor yang
mempengaruhi pengangguran kalangan terdidik ini, tapi diatas segalanya ini
adalah sebuah pertanda bahwa ada masalah
yang terjadi di dunia pendidikan tinggi di Indonesia pada mutu dan relevansi.
Apa yang telah dilakukan? Berdasarkan diagnosa
para birokrat pendidikan tentu bersama beberapa pakar pendidikan yang lain
telah melahirkan berbagai terapi. misalnya Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro,
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengadopsi dan mempopulerkan
pendekatan link and match (kesesuaian dan keterpaduan). Prof. Malik Fadjar
dengan Broad Base Education yang mensyaratkan perlunya sebuah pendidikan life
skill. Tidak hanya diberikan
pengetahuan, tapi peserta didik juga diberikan skill. Dan pendidikan harus
berbasiskan kompetensi. Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA mencanangkan tiga pilar
pendidikan sekaligus yaitu akses, mutu dan relevansi pendidikan. Tapi
persoalannya, hingga saat ini kecanggihan terapi itu, tidak cukup mampu
menyembuhkan penyakit paradoksal pendidikan itu.
Dunia Kerja yang
Hiperdinamis
Sementara kita berfikir untuk menjawab persoalan itu, dunia kerja terus
berlari kencang sepertinya tidak bisa diikuti oleh kecepatan adaptasi
pendidikan. Dalam era post industrial
ini, terjadi perubahan kecendrungan
dalam dunia kerja dari skala produksi menjadi customized product dan pelayanan. Perusahan tidak lagi memproduksi
produknya dalam jumlah besar. Kuantitas telah digantikan dengan kualitas
sebagai focus kegiatan ekonomi. Karenanya organisasi perusahan tidak lagi
mempertahankan mode fordian dalam dunia perusahaan mereka yang mempekerjakan
banyak orang, mulai dari frontline worker
sampai struktur atas. Bahkan layers
piramida dalam dunia kerja yang juga menjadi refleksi Perguruan tinggi itu
sudah tidak begitu dominan lagi. Yang berkembang adalah SMEs (Small and Medium
Enterprises), small-scale production,
medium manager mengkordinaskan team work,
people tidak bekerja berdasarkan spesialist, tapi terjadi integrasi dalam
team work orang-orang dengan banyak
talenta, keahlian dan pengalaman.
Dalam dunia berbasis pengetahuan terjadi mobilitas kerja. tidak ada banyak
lagi orang yang satu karir untuk selamanya (one
career in a lifetime). Orang banyak bekerja saling silang, tidak tergantung
latar belakang kualifikasi akademiknya. Karena itu sumber daya manusia yang
bisa survive adalah mereka yang
memiliki kapasitas untuk terus belajar (capacity
for long life learning).
Karena itu ekpektasi dunia kerja terhadap individu yang akan bekerja
mengalami perubahan. Individu yang dicari adalah mampu berkomunikasi, adaptif
terhadap perubahan, mampu bekerja dalam tim dan memiliki fleksbilitas dalam
human relation, selalu siap untuk memecahkan masalah, mampu melakukan analisa
dan mengkonsepsi, bertanggungjawab, punya kemampuan refleksi dan manajemen
diri, kreatif, inovatif dan kritis, selalu mau belajar sesuatu hal yang baru di
manapun, kapanpun, termasuk yang diluar bidang spesialis dan bahkan diluar
budayanya. Ekspektasi dunia kerja ini adalah sebetulnya ekivalen dengan
nilai-nilai yang ada dalam pendidikan kecapakan hidup (life skill).
Paradigma active learning dan entrepreneurship
Ini adalah persoalan teramat berat yang harus kita fikirkan. Menurut saya
ada dua hal yang perlu kita lakukan. Pertama pendidikan memang harus relevan
dan bermutu, tapi jangan mengabdi untuk satu kepentingan saja, apalagi hanya
untuk mencari lapangan pekerjaan. Paradigma dan praksis pendidikan yang harus
diterapkan adalah active learning. Kedua, harus terjadi perubahan orientasi
lulusan kita, dari job seeker kepada
orientasi job creator.
Dalam paradigma active learning
ini peserta didik dianggap sebagai active
agent atau chief agent bukan
sebagai penerima pasif seperti dalam
paradigma pengajaran teaching atau
disebut Paulo Friere sebagai pendidikan model bank/model deposito. Dalam active learning, guru dan dosen tidak
lagi diposisikan sebagai pihak yang memiliki paramount authority dan tidak lagi memiliki kontrol penuh atas
mahasiswa-mahasiwanya.
Dalam active learning peserta
didik dipandang sebagai penemu dan konstruktor pengetahuan. Tidak ada lagi
dalam praksis pendidikan, belajar sekedar transmisi atau transfer pengetahuan.
Mereka lebih aktif, lebih canggih dalam menggunakan segala sumber belajar dan
mereka melakukan collaborative learning. Apa yang diajarkan oleh pendidik tidak lagi
dirasa cukup menghadapi ledakan pengetahuan dan kesepatan perubahan dalam dunia
nyata.
Active learning membuat peserta didik menjadi pembelajar
yang siap memiliki kapasitas untuk manusia pembelajar sepanjang hayat (long life learning). Lembaga pendidikan,
bagi peserta didik active learning
adalah dalam rangka membangun/memperkuat dirinya menjadi manusia dengan
kapasitas/kesadaran tinggi akan longlife
learning saja lagi. Bagi mereka ijazah disadari tidak akan memberikan
garansi apapun bagi sebuah lifelong
qualification of competency.
Tidak cukup dengan hanya itu, secara sengaja dan terencana, kita sudah
harus memikirkan bagaimana mengembangkan lulusan pendidikan, terutama dari
perguruan tinggi dengan orientasi entrepreneurship/kewirausahaan. Saya setuju
dengan premis Dr. Ir. Ciputra yang mengatakan bahwa yang paling siap dan paling
mudah untuk dididik dan dilatih kecakapan wirausaha adalah mereka yang sekarang
berada di bangku sekolah. Kita harus melahirkan lulusan yang memiliki pola
berfikir/cita-cita untuk menciptakan lapangan pekerjaan (job creator), bukan mencari (job
seeker). Sebagian dari lulusan perguruan tinggi harus diarahkan menjadi
manusia yang berani mengambil dan mengolah resiko itu untuk terjun dalam dunia
kewirausahaan. Ini adalah persoalan pendidikan karakter dan jiwa kewirausahaan.
Dalam era yang berbasiskan ilmu pengetahuan ini, sumber daya manusia berjiwa
kewirausahaan adalah salah satu penanda terpentingnya
Dalam proses membudayakan wirausaha melalui lembaga pendidikan tinggi
sebetulnya nilai mendasar apa yang perlu diinternalisasi yang menjadi pembeda
bagi seorang wirausahawan. Ada tiga watak penting yang menjadi penanda seorang wirausaha yaitu
individu yang mampu menciptakan kesempatan (opportunity
creator), mampu menciptakan hal-hal atau ide-ide baru yang orisinal (innovator) dan terakhir harus berani
mengambil resiko dan mampu mengitungnya (calculated
risk taking).
Dari sisi pengetahuanya, apa yang dipelajari dalam kewirausahaan
diantaranya yang penting adalah riset pasar, solusi masalah, dan konsepnya,
rancangan keuangan, biaya kebutuhan usaha lengkap dengan return of investmenya.
Ide ini rasanya sangat realistic untuk diaplikasikan di perguruan tinggi
yang notabene merupakan pusat keunggulan dengan lingkungan yang diselimuti ilmu
pengetahuan, teknologi, inovasi dan invensi. Tidak sedikit ilmuwan yang ada
dalam suatu lingkungan perguruan tinggi adalah individu yang dipercaya oleh
perusahaan-perusahan besar dalam pembenahan dan pengembangan internal
perusahan tersebut (dalam tugas R&D Engineering innovation). Selain itu,
dari berbagai ajang kreatifitas yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah
maupun pihak swasta, partisipan dari kalangan perguruan tinggi selalu
menunjukkan hasil yang layak dijual dan dikembangkan lebih lanjut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar