Mahasiswa adalah peserta
didik yang menempati strata tertinggi dari jenjang Pendidikan. Banyak atribut
dan ekpektasi yang dilekatkan pada mahasiswa, termasuk dari mahasiswa terhadap
diri mereka sendiri.
Sebagai bagian dari civitas
academica dalam jenjang pendidikan tinggi
yang terlatih dalam berfikir dan peka dalam melihat dan merespon
masalah-masalah bangsa dan masyarakat, mahasiswa memiliki peran sejarah yang
besar dalam perjalanan bangsa ini. Pada 1908, mahasiswa membangkitkan kesadaran
bangsa Indonesia melalui Budi Oetomo. Pada 1928, mahasiswa merintis kelahiran
bangsa Indonesia melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Menjelang 1945,
mahasiswa berperan dalam mempercepat kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus
1945. Pada saat kemerdekaan sudah dicapai, interval waktu 1946-1949 di mana
terjadi perang kemerdekaan, mahasiwa tergabung di dalam Tentara Pelajar
(TP/TRIP) bahu membahu dengan rakyat dan TNI untuk melawan Belanda meninggalkan
bangku kuliah. Pada 1951, saat pemerintah menghadapi desakan kekurangan guru
SMA di luar Jawa, dibentuklah proyek pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), di mana
selama sepuluh tahun tercatat 1600 mahasiswa dari berbagai universitas di Jawa
telah mengajar di 160 SMA yang tersebar di 91 kota di luar Jawa. Pada 1955,
ketika diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung, dalam
rangkaiannya, mahasiswa Indonesia mempelopori Konferensi Mahasiswa Asia Afrika
di Bndung. Pada 1966, mahasiswa bersama ABRI aktif berperan melahirkan Orde
Baru dan pada 1998 berperan besar dalam gerakan reformasi, menjatuhkan rezim
Orde Baru yang tidak amanah. Dan berbagai peran sejarah lainnya. Setiap babakan
sejarah memiliki tantangannya tersendiri bagi mahasiswa.
Dalam setiap etape sejarah
seperti disebutkan diatas, tantangan yang dihadapi mahasiswa tentu berbeda
bentuk dan kualitasnya. Misalnya pada awal abad XX, mahasiswa Indonesia yang
belajar di Belanda maupun di Kairo, mereka adalah minoritas yang sangat
militan/bersungguh-sungguh belajar (sangat sedikit yang tidak lulus, bahkan
sebagian besar dari mereka mencapai gelar doctor), dan yang menjadi tantangan
mereka adalah bagaimana lepas dari belenggu kolonialisme dan mewujudkan cita-cita nasionalisme yaitu
kemerdekaan Indonesia. Dari semangat itu lahirlah berbagai kreasi mahasiswa
untuk mencapai kemerdekaan semisal De Indische Vereeniging (yang kemudian
berubah nama menjadi Indonesich Vereniging), kebijakan non-kooperatif, majalah
Indonesia Merdeka yang berisi pemikiran zelf-bestuur disebar, studie-studie
club didirikan, bahkan buku-buku dengan élan kemerdekaan dilahirkan.
Rasanya dimensi dan fungsi
sebagai bagian dari sivitas academika dan sebagai bagian warga Negara yang
memiliki hak-hak politik dan kepedulian sosial tidak bisa dipisahkan dari
mahasiswa, hingga saat ini. Mahasiswa memiliki kepekaan politik dan kepedulian
sosial yang tinggi, sehingga ada pameo di kalangan aktivis tidak ada pemimpin
yang muncul di pentas nasional yang bukan aktivis mahasiswa. Rasanya, tidak
mudah dan juga tidak terlalu baik lagi menurture mahasiswa dengan hanya untuk
orientasi akademik semata. Jujur harus diakui bahwa mahasiswa lebih banyak
dikenal karena peran-peran partisipasi politiknya (diluar kampus) seperti
penggalangan aksi, advokasi, dan opini ini. Brend positif ini selama masih
dalam koridor untuk membela kebenaran dan imparsial[1]
Lantas, bagaimana dengan
konteks kekinian, apa yang menjadi tantangan terbesar yang akan dihadapi
mahasiswa Indonesia. Saat ini jumlah mahasiswa Indonesia terus bertambah
seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya berinvestasi dalam
bidang pendidikan tinggi dan banyaknya lulusan sekolah menengah yang memasuki
bangku perkuliahan. Kalau dulu pada awal-awal berdirinya perguruan tinggi di
Indonesia, mahasiswa tidak lebih dari 200 orang saja, saat ini populasi
mahasiswa Indonesia telah mencapai angka
4,3 juta orang. Jumlah mahasiswa itu
tersebar di 2.811 perguruan tinggi di Indonesia (Negeri dan Swasta) yang
mengelola 14.423 program studi. Sebanyak 37,11 persen diantara mereka berada di
82 PTN dan selebihnya 62,89 persen berada di PTS. Partisipan pendidikan tinggi
ini tidak lagi mengenal perbedaan gender, jumlah mahasiswa perempuan sudah
berbanding sama dengan mahasiswa laki-laki. [2]
Yang menjadi persoalan dan
tantangan mahasiswa saat ini (yang harus juga dijawab oleh Mahasiswa itu
sendiri tentu bukan dengan cara berdemonstrasi) adalah rendahnya mutu dan
relevansi lulusan perguruan tinggi Indonesia. Indikatornya bisa dilihat dari
tingkat kemandirian lulusan, angka pengangguran terdidik, rendahnya kontribusi
pendidikan tinggi terhadap produktifitas bangsa. Belum lagi persoalan moralitas
dan karakter mahasiswa yang akhir-akhir ini mendapatkan sorotan masyarakat,
seiring banyaknya tindakan anarkhisme mahasiswa di beberapa kampus. Belum lagi
demonstrasi-demonstrasi yang tidak lagi murni untuk membela kepentingan
masyarakat (tidak imparsial) yang terkadang masyarakat merasa tidak dibela.
Semakin lama masa bersekolah seorang anak, ternyata
semakin rendah tingkat kemandiriannya.
Sebuah data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) data sakernas
2003, yang menyigi bagaimana korelasi antara variable status pekerjaan dan
tingkat pendidikan, terlihat dengan jelas bahwa mayoritas pekerja lulusan
perguruan tinggi bekerja menjadi buruh/karyawan/pekerja yang dibayar, yaitu
83,18 per sen. Kecil sekali yang mencoba mengambil resiko membuka usaha sendiri
dan mempekerjakan orang lain, dari data terlihat hanya 3,12 per sen saja yang
berusaha dibantu dengan buruh tetap, 3,28 berusaha dibantu dengan buruh tidak
tetap, selebihnya 6,14 per sen bekerja sendiri dan 3,93 bekerja dengan keluarga.
Sementara itu orientasi pemikiran
ini tidak didukung oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik. Sementara tambahan pencari pekerja baru
setiap tahunnya bertambah dalam jumlah yang banyak. Dalam perhitungan para ekonom
setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan menampung atau menyediakan lapangan
pekerjaan baru sekitar empat ratus ribu orang (Basri, 2003). Bisa
dibayangkan/dihitung berapa banyak akhirnya jumlah pengangguran terbuka,
termasuk yang dikontribusikan oleh perguruan tinggi. Seharusnya ditengah
kondisi seperti ini, yang dibutuhkan adalah para wirausaha yang berfikir
bagaimana membuka lapangan pekerjaan, minimal bagi dirinya, ketimbang mencari
pekerjaan.
Pada tahun 2004 pengangguran
terdidik tingkat sarjana/diploma berjumlah 348 ribu orang. Jumlah ini dari
tahun ke tahun terus merangkak naik. Terakhir tahun 2007, pengangguran terdidik
dari perguruan tinggi mencapai angka 409 ribu orang.[3]
Belum lagi, persoalan tidak adanya korelasi antara lama bersekolah dengan
kenaikan pendapatan. Produktivitas menggambarkan bagaimana kemakmuran sebuah
bangsa. Sebuah penelitian yang dilakukan UNESCO dan OECD menunjukkah akan fakta
itu, bahwa di Indonesia lamanya masa bersekolah anak-anak Indonesia tidak
meningkatkan penghasilan mereka, bahkan semakin lama bersekolah semakin jauh
dari garis ekspektasi seharusnya. Padahal seharusnya dengan lulusan terdidik
menghasilkan pekerja-pekerja yang terdidik, full skill dan diasumsikan akan
memberikan nilai tambah bagi pembangunan bangsa.
Potret mahasiswa Indonesia saat ini ternyata tidak bisa digambarkan lewat
hitung-hitungan kuantitatif semata. Pendidikan karakter dan moral, cinta tanah
air yang menjadi modal penting untuk terjun ke masyarakat tampaknya tidak
terenkulturasi dengan kokoh dalam kompetensi diri seorang mahasiswa. Barangkali
porsi knowledge terlalu mendominasi, ditambah sangat sedikitnya mereka
mendapatkan pendidikan karakter dan soft skill, sehingga unsure afektif agak
sedikit terabaikan. Sekarang bermunculan fikiran-fikiran untuk menegaskan kembali
perlunya pendidikan karakter dan moral ini. Pendidikan ini tidak bisa hanya
direduksi dalam mata kuliah-mata kuliah MKDU semata, di mana lazimnya tidak
terlalu diminati oleh sang mahasiswa.
Apa yang harus dilakukan? Prof.
Dr. Wardiman Djojonegoro, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjawab
dengan pendekatan link and match (kesesuaian dan keterpaduan) untuk memecahkan
problem relevansi dan mutu pendidikan ini[4].
Ide ini dijadikan sebagai pedoman kerja atau bagian rencana strategis
Departemen Pendidikan dan kebudayaan waktu itu. Prof. Wardiman mengatakan bahwa
ide link and match ini berangkat dari keadaan riil di lapangan bahwa banyak
lulusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, baik dari sisi tingkat keterampilan
maupun dari segi jenis keterampilan yang dibutuhkan. Dunia kerja dan dunia
pendidikan berjalan sendiri-sendiri, tak ada lingkage. Menurut Wardiman itulah
yang menjadi jawaban kunci, kenapa banyaknya terjadi pengangguran terdidik.[5]
Tapi realitasnya adalah hingga
saat ini pengangguran terdidik dan rendahnya kontribusi pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi terus menjadi pertanyaan.
Link and match tidak terealisasi dengan baik seperti diharapkan (bukan
berarti tidak relevan), karena memang ada suatu hal yang berbeda antara entitas
lembaga pendidikan dan dunia kerja. Dunia kerja bergerak dengan sangat cepat
dan hiperdinamis meninggalkan pendidikan tinggi, yang sedikit lambat
pergerakkannya menyesuaikan diri[6].
Dunia Kerja yang Hiperdinamis
Prof. Kai Ming Cheng,[7] menjelaskan secara baik bagaimana kecepatan
perubahan dunia kerja (workplace/worklives) itu dalam era post-industrial ini. Dalam konteks ini telah terjadi perubahan
trend dunia kerja dari skala produksi menjadi customized product dan pelayanan. Perusahan tidak lagi memproduksi
produknya dalam jumlah besar. Kuantitas telah digantikan dengan kualitas
sebagai focus kegiatan ekonomi. Karenanya organisasi perusahan tidak lagi
mempertahankan mode fordian dalam dunia perusahaan mereka yang mempekerjakan
banyak orang, mulai dari frontline worker sampai struktur atas. Bahkan layers
piramida dalam dunia kerja yang juga menjadi refleksi Perguruan tinggi itu
sudah tidak begitu dominan lagi. Yang berkembang adalah SMEs (Small and Medium
Enterprises), small-scale production, medium manager mengkordinaskan team work,
people tidak bekerja berdasarkan spesialist, tapi terjadi integrasi dalam team
work orang-orang dengan banyak talenta, keahlian dan pengalaman.[8]
Dalam dunia berbasis pengetahuan terjadi mobilitas kerja. tidak ada banyak
lagi orang yang satu karir untuk selamanya (one
career in a lifetime). Orang banyak bekerja saling silang, tidak tergantung
latar belakang kualifikasi akademiknya. Karena itu sumber daya manusia yang
bisa survive adalah mereka yang memiliki kapasitas untuk terus belajar (capacity for long life learning).
Karena itu ekpektasi dunia kerja
terhadap individu yang akan bekerja mengalami perubahan. Individu yang dicari
adalah mampu berkomunikasi, adaptif terhadap perubahan, mampu bekerja dalam tim
dan memiliki fleksbilitas dalam human relation, selalu siap untuk memecahkan
masalah, mampu melakukan analisa dan mengkonsepsi, bertanggungjawab, punya
kemampuan refleksi dan manajemen diri, kreatif, inovatif dan kritis, selalu mau
belajar sesuatu hal yang baru di manapun, kapanpun, termasuk yang diluar bidang
spesialis dan bahkan diluar budayanya. Ekspektasi dunia kerja ini adalah
sebetulnya ekivalen dengan nilai-nilai yang ada dalam pendidikan kecapakan
hidup (life skill).
Dimulai dari Paradigma Pembelajaran
Menghadapi tantangan perubahan
zaman, termasuk dunia kerja yang cukup berat itu, perlu dilakukan perubahan
paradigma dan praksis pembelajaran dari
teaching kepada student active
learning atau learning. Mahasiswa
dalam paradigma ini dianggap sebagai active
agent atau chief agent bukan
sebagai penerima pasif seperti dalam
paradigma pengajaran teaching atau disebut Paulo Friere sebagai pendidikan
model bank/model deposito. Dalam student active learning, guru dan dosen tidak
lagi diposisikan sebagai pihak yang memiliki paramount authority dan tidak lagi memiliki kontrol penuh atas
mahasiswa-mahasiwanya.[9]
Dalam active learning mahasiswa dipandang sebagai penemu dan konstruktor
pengetahuan. Tidak ada lagi dalam
praksis pendidikan, belajar sekedar transmisi atau transfer pengetahuan. Mereka
lebih aktif, lebih canggih dalam menggunakan segala sumber belajar dan mereka
melakukan collaborative learning. Apa yang diajarkan oleh pendidik tidak lagi
dirasa cukup menghadapi ledakan pengetahuan dan kesepatan perubahan dalam dunia
nyata.[10]
Dalam learning, pengetahuan dipandang sebagai sebuah frameworks atau keseluruhan yang dikreasi oleh atau dikonstruksi
oleh peserta belajar itu sendiri. Pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai
suatu hal yang bersifat kumulatif dan linear seperti selama ini dipahami.
Melihat secara keseluruhan akan sesuatu lebih penting ketimbang asyik dan
terjebak dengan bagian-bagiannya saja. Analoginya adalah dalam learning melihat
hutan secara keseluruhan, bukan berhenti pada pohon-pohon.[11]
Dalam paradigma learning pembelajaran hanya terjadi dalam sebuah wahana
interaksi antara manusia (pembelajar) dengan dunia eksternalnya. Artinya
belajar hanya terjadi dalam aktifitas atau learning
experience. Antara memahami/belajar dan aplikasi menjadi satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dalam learning process. Karena dia hanya ada dalam learning experience model pembelajaran
harus berangkat atau berbasiskan dari masalah.
Learning experience merupakan totalitas pembelajaran yang
tidak terbatas hanya studi di ruang
kelas, perpustakaan dan laboratorium. Mereka juga harus mendapatkan alternative
learning yang diperolah dari aktivitas intra/ekstrakurikuler Mahasiswa. Leadership learning didapatkan dari
keikutsertaan dalam organisasi kemahasiswaan. Tidak kalah pentingnya adalah
mahasiswa semasa perkuliahannya harus mendapatkan workplace learning yang bisa didapatkan dari program mentorship,
internship, placement. Mahasiswa juga dipastika mendapatkan creativity learning yang bisa didapat
dari kegitan musik, disain, olah raga, seni, drama. Learning to serve mungkin sudah biasa kita aplikasikan melalui
program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mahasiswa juga harus sering-sering diajak
langsung terjun ke daerah-daerah pedesaan, komunitas-komunitas yang
termarginalkan/kurang beruntung untuk mendapatkan pengalaman learning to care. Seorang mahasiswa juga
dituntut memiliki wawasan pluralisme, demokrasi, karenanya mahasiswa harus learning across culture seperti
pertukaran pemuda/mahasiswa, konferensi. Mahasiswa belajar dalam semesta
pembelajaran (lives in Education).[12]
Active learning membuat mahasiswa menjadi pembelajar yang siap
memiliki kapasitas untuk manusia pembelajar sepanjang hayat (long life learning). Lembaga pendidikan,
bagi mahasiswa active learning adalah
dalam rangka membangun/memperkuat dirinya menjadi manusia dengan
kapasitas/kesadaran tinggi akan longlife
learning saja lagi. Bagi mereka ijazah disadari tidak akan memberikan
garansi apapun bagi sebuah lifelong
qualification of competency.
Selain itu memperhatikan
tantangan perubahan yang terjadi, sebetulnya tidak terlalu valid lagi dan tidak
cukup argumen lagi, bahwa fungsi pendidikan dijadikan/direduksi hanya sebagai
wadah mencetak posisi tertentu dalam pasar kerja. Di beberapa Negara di Amerika
Utara, Eropa Barat dan beberapa kota besar di Asia, telah mengalami mismatch
antara karir dan kualifikasi akademiknya. Tugas kita adalah melahirkan lulusan
yang memiliki wawasan active learning dan
long life learning
Entrepreneurship
Mahasiswa[13]
Tidak cukup dengan hanya itu,
secara sengaja dan terencana, pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha, sudah
harus memikirkan bagaimana mengembangkan lulusan perguruan tinggi dengan
orientasi entrepreneurship/kewirausahaan. Harus lahir lulusan yang memiliki
pola berfikir/cita-cita untuk menciptakan lapangan pekerjaan (job creator),
bukan mencari (job seeker). Sebagian dari lulusan perguruan tinggi harus
diarahkan menjadi manusia yang berani mengambil dan mengolah resiko itu untuk
terjun dalam dunia kewirausahaan. Ini adalah persoalan pendidikan karakter dan
jiwa kewirausahaan. Dalam era yang berbasiskan ilmu pengetahuan ini, sumber
daya manusia berjiwa kewirausahaan adalah salah satu penanda terpentingnya.[14]
Dalam proses membudayakan
wirausaha melalui lembaga pendidikan tinggi sebetulnya nilai mendasar apa yang
perlu diinternalisasi yang menjadi pembeda bagi seorang wirausahawan. Ada tiga
watak penting yang menjadi penanda
seorang wirausaha yaitu individu yang mampu menciptakan kesempatan (opportunity
creator), mampu menciptakan hal-hal atau ide-ide baru yang orisinal (innovator)
dan terakhir harus berani mengambil resiko dan mampu mengitungnya (calculated
risk taking).[15]
Dari sisi pengetahuanya, apa yang
dipelajari dalam kewirausahaan diantaranya yang penting adalah riset pasar,
solusi masalah, dan konsepnya, rancangan keuangan, biaya kebutuhan usaha
lengkap dengan return of investmenya.
Ide ini rasanya sangat realistic
untuk diaplikasikan di perguruan tinggi yang notabene merupakan pusat
keunggulan dengan lingkungan yang diselimuti ilmu pengetahuan, teknologi,
inovasi dan invensi. Tidak sedikit ilmuwan yang ada dalam suatu lingkungan
perguruan tinggi adalah individu yang dipercaya oleh perusahaan-perusahan besar
dalam pembenahan dan pengembangan internal perusahan tersebut (dalam tugas R&D Engineering
innovation). Selain itu, dari berbagai ajang kreatifitas yang diselenggarakan,
baik oleh pemerintah maupun pihak swasta, partisipan dari kalangan perguruan
tinggi selalu menunjukkan hasil yang layak dijual dan dikembangkan lebih
lanjut. [16]
Beberapa perguruan tinggi telah
mengembangkan embrio-embrio ke arah entrepreneurship mahasiswa ini yang bisa
dijadikan contoh baik (best practice). IPB misalnya dalam mata kuliah
kewirausahaan mereka mengaplikasikan suatu model pembelajaran yang cukup
atraktif dan stimulatif untuk mengembangkan ide kewirausahaan mahasiswa. Setiap
mahasiswa dalam tugas mata kuliah kewirausahaan harus menuliskan 100 mimpi
mereka tentang ide/konsep/perencanaan usaha apa yang akan mereka bangun, di
mana salah satunya harus menjadi bisnis nyata mereka suatu hari nanti. Program
ini juga dihidupkan oleh peran RAMP yang melakukan fasilitasi, pembimbingan
bagi mahasiswa IPB yang lolos seleksi pengajuan proposal di bidang rencana wirausaha dan bagi pemenang akan mendapatkan
dana hibah venture. Begitu juga
dengan beberapa kampus yang melakukan hal yang sama[17]
Dr. Ir. Ciputra Melalui University of Ciputra Enterpreneurshp centernya
(UCEC) telah mengembangkan berbagai
program pendidikan dan pelatihan
kewirausahaan, seperti CROWN dan Trusty Worthy[18]. Bank Mandiri melalui program corporate
Social Responsibilitynya juga telah mengembangkan program penghargaan bagi
wirausaha muda bagi kalangan mahasiswa dan alumni.[19]
Hal penting lainnya adalah
beberapa perguruan tinggi telah memiliki incubator bisnis yang telah berpengelaman
memapah, menfasilitasi dan mengantarkan tenant-tenant mereka menjadi
pengusaha/perusahaan yang mandiri. [20]
Modal yang sudah ada ini bisa dijadikan landasan awal mendampingi mahasiswa
sebelum dilepas secara mandiri ke dalam pasar.
Tugas kita sekarang adalah
bagaimana merancang proses pembelajaran yang membuat mahasiswa memiliki pola
berfikir (mind set) kewirausahaan. Bagaimana mereka diperkenalkan semenjak awal
tentang tradisi berniaga itu.
Kalau kita berhasil melahirkan
wirausahawan terdidik ini akan berkorelasi positif terhadap kesejahteraan
bangsa. Ini sudah dibuktikan oleh beberapa Negara. Singapura yang mimiliki
entrepreneur sebanyak 7,2 persen dari jumlah penduduknya memiliki pendapatan
perkapita puluhan lebih tinggi dari Indonesia yang hanya memiliki wirausahawan
0,18 persen saja dari jumlah penduduk. [21]
Untuk menjawab semua itu, kita
perlu memikirkan juga bagaimana setiap perguruan tinggi mengaplikasikan
dormitorized system pada mahasiswa pada tingkat pertama untuk membentuk
karakter mereka termasuk karakter dan kompetensi student active learning dan
kewirausahaan itu. di dalamnya mereka diajarkan segenap lives in education.
Pendidikan Karakter dan Soft Skill[22]
Ada dua modal penting yang menjadi penentu keberhasilan masa depan
seorang mahasiswa dalam meniti karir dan menjalankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang telah dilupakan. Dua hal itu adalah pendidikan
karakter dan soft skill. Pendidikan karakter terkait dengan moralitas dan
kepribadian di dalam ranah kehidupan yang lebih luas, sementara soft skill
diidentikkan dengan nilai, kebiasaan, cara pandang dalam dunia kerja.
Undang-Undang Sisdiknas sebetulnya secara eksplisit talah mendudukkan
pendidikan moral, karakter, bahkan termasuk di dalamnya soft skill (walaupun
tidak secara eksplisit) ini dalam posisi yang sangat sentral. Dalam klausul
Undang-Undang Sisdiknas ditempatkan dalam pasal defenisi, dasar, tujuan,
fungsi, prinsip pendidikan Indonesia. Artinya moralitas adalah atap yang
memayungi keseluruhan (rumah) sistem pendidikan nasional. Dalam defenisi
pendidikan disebutkan: pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negera. Dalam pasal 3
ditegaskan lagi, fungsi pendidikan adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa…dengan tujuan agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak Mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dan didalam Bab III tentang Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan, pasal 4 di dalam salah satu butirnya dikunci lagi dengan
pernyataan: Pendidikan mestilah diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih
dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga seorang mahasiswa didik
menjadi faham (domein kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu
merasakan (domein afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya
(domein psikomotor). Hal ini sesuai dengan makna harfiah dari kata
karakter itu sendiri, di mana menurut Wynne (1991) kata karakter berasal dari
Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan
memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku.
Menurut Lickona pendidikan karakter yang baik melibatkan bukan saja
aspek “knowing the good” (moral knowing),
tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” (moral feeling) dan “acting the good” (moral action). Tanpa itu semua
manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Mengacu
pada UU Sisdiknas pendidikan tidak sekedar transmisi pengetahuan, apalagi dalam
pendidikan karakter, tapi harus diperkokoh dengan contoh nyata atau
keteledanan/”acting the good”[23]
Sementara itu, sejalan
dengan Lickona, Yayasan Jati Diri Bangsa dalam konteks pendidikan karakter ini
menuliskan ada empat hal yang harus ada:
- internalisai
tata nilai.
- Menyadari
mana yang baik dan mana yang buruk (the does and the don’ts)
- Membentuk
kebiasaan
- Menjadi
teladan sebagai pribadi berkarakter.[24]
Deklarasi Aspen menghasilkan enam nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati
untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
1) dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),
2) memperlakukan
orang lain dengan hormat (treats people
with respect),
3) bertanggungjawab
(responsible),
4) adil (fair),
5) kasih sayang (caring) dan
6) warganegara yang
baik (good citizen).
Ratna Megawangi menyusun karakter mulia yang selayaknya
diajarkan kepada anak, yang kemudian disebut sebagai 9 pilar yaitu:
1. Cinta Tuhan dan
kebenaran (love Allah, trust, reverence,
loyalty)
2. Tanggungjawab,
kedisiplinan, dan kemandirian (responsibility,
excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3. Amanah (trustworthiness, reliability, honesty)
4. Hormat dan
santun (respect, courtessy, obedience)
5. Kasih sayang,
kepedulian, dan kerjasama (love,
compassion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6. Percaya diri,
kreatif, dan pantang menyerah (confidence,
assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and
enthusiasm)
7. Keadilan dan
kepemimpinan (justice, fairness, mercy,
leadership)
8. Baik dan rendah
hati (kindness, friendliness, humility,
modesty)
Memperhatikan tiga domain Lickona dan empat pilar Soemarno, bagaimana
menterjemahkannya dalam perencanaan strategis perguruan tinggi, kurikulum, dan
suasana belajar di pendidikan tinggi adalah menjadi persoalan tersendiri.
Selama ini pendidikan moral (belum ada istilah pendidikan karakter) lebih
banyak diajarkan pada mata pelajaran MKDU yang notabene relatif tidak diminati.
Bagaimana mengarusutamakan dan menterjemahkan pendidikan karakter ini adalah
tugas bersama pemerintah dan perguruan tinggi.
[1] Misalnya kebijakan NKK-BK
pada 1978 telah menjadikan mahasiswa penghuni menara gading yang tidak lagi
peka dengan masalah yang terjadi di luar kampusnya. Kemandirian mahasiswa yang
menjadi cirri dan kekuatan mereka dicabut dan lebih banyak diatur oleh secara
terpusat, bahkan otoriter dari pembimbing kemahasiswaannya.
[2] Pertumbuhan perguruan tinggi
ini bermula dari disahkannya Undang-Undang No.22 tahun 1961 tentang perguruan
tinggi. UU ini mengakui kehadiran perguruan tinggi swasta dengan kedudukan yang
sejajar dengan perguruan tinggi negeri.
[3] Masalah
pengangguran di Indonesia, merupakan masalah yang amat penting untuk
dipelajari, karena masalah itu merupakan salah satu indikator keberhasilan
pembangunan (Arndt dan Sundrum, 1980).Menurut Bairoch (1973)…Pada sisi lain,
pada lulusan perguruan tinggi yang diterima bekerja, tidak sedikit diantaranya
yang bekerja pada posisi yang bukan seharusnya, terjadi leveling down. Menurut Suryadi (1994), seperti dikutip Saratri Wilonoyudho (2008) gejala ini tidak selamanya
dipandang negatif, karena akan memiliki dampak ’’leveling up” produktivitas sektoral sebagai akibat pendayagunaan
tenaga kerja lebih terdidik dalam lapangan kerja. Meskipun demikian kenyataan
tersebut perlu diberi perhatian karena dengan bekal ijazah yang tidak sesuai
dengan pekerjaannya, dimungkinkan terjadi pemanfaatan angkatan kerja tidak
penuh (underutilizied).
[4] Dalam konteks yang lebih
luas, sebetulnya setiap Menteri Pendidikan Nasional meninggalkan kontribusi
yang khas bagi pembangunan pendidikan nasional, tentu juga bagi perguruan
tinggi. Untuk menyebut diantaranya, Prof. Dr. Ir. Tojib Hadiwidjaja (Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1963-1964) dengan Misi Tridharma perguruan
tingginya. Prof. Dr. Syarief Thayeb (Menteri Pendidikan dan Kebudyaan tahun
1974-1978) meletakkan kebijakan dasar manajemen pendidikan tinggi yang
dituangkan dalam Kebijakan DAsar pengembangan Pendidikan Tinggi (KDPPT). Prof.
Dr. Fuad Hassan (Menteri Pendidikan dan kebudayaan tahun 1985-1993) berhasil
membuat Undang-Undang NO.2 tahun 1989 tentang perlunya sebuah Sistem Pendidikan
Nasional sebagai amanah UUD 1945 yang berbunyi:”upaya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang”.
[5]Konsep link and match
diadopsi dari pola pendidikan AS. Dalam kolokium pertama teknologi enjiniring
di Jakarta (Januari, 1995), Prof. Karl Willenbrock dari AS mengusulkan perlunya
perusahaan menjadi bapak angkat bagi perguruan tinggi. perusahaan tidak sekedar
memberi tempat berlatih, atau menyisihkan sebagian keuntunganannya, tapi juga
terlibat dalam pengembangan lembaga pendidikan (tinggi). (kompas, 1995). Bukan konsepnya yang salah tapi aplikasinya kemudian
yang dianggap sebagai orang seolah-olah menjadikan lembagai pendidikan tak
ubahnya bagaikan bengkel kerja ala Dewey.
[6]Disebut relevan, karena
berdialog dan menyesuaikan diri dengan dunia kerja, walaupun berbeda kecepatan
dalam perubahan dan adaptasi, akan terus dilakukan. Memang, walaupun tidak
mengabdi untuk tujuan dan hasil dunia kerja, praksis pendidikan kita memang
harus bisa memenuhi tuntutan dunia kerja. Sampai saat ini, salah satu indicator
untuk mengukur relevansi dan bermutu tidaknya suatu institusi pendidikan adalah
dilihat dari indicator laju peningkatan penyerapan alumni di dunia kerja
(graduate employment rate), tingkat kepuasan industri, alumni dan mahasiswa.
Beberapa jenis dan bentuk pendidikan kita, ada yang secara sengaja memang
diarahkan untuk menghuni salah satu piramida tenaga kerja pada level teknisi,
supervisor, line manager ini. Salah satu program yang kita dukung di diknas
saat ini adalah revitalisasi politeknik sebagai salah satu jawaban mengurangi
pengangguran terdidik. Politeknik yang dimaksud adalah politeknik yang kembali
ke khittahnya yaitu menciptakan tenaga-tenaga kerja yang siap pakai. Salah satu
program lain yang juga dilakukan adalah kerjasama Perguruan tinggi dan dunia
perguruan tinggi dalam program Kooperative education, di mana mahasiswa bisa
belajar sambil bekerja di perusahaan mitra kerjasama.
[7] Profesor Kai-Ming Cheng
adalah seorang dosen di University of Hongkong lulusan Harvard Graduate School
of Education. Jika kita perhatikan Brand Top 100 Universtitas di dunia yang
dirilis pada 2007 oleh Times Higher Education Supplement, maka University of
Hongkong berada pada urutan 18 besar berdekatan dengan universitas-universitas
seperti Harvard, Yale, Oxford, Cambridge, Massachusetts institute of Technology.
Profesor Kai-Ming adalah menjadi bagian dari kesuksesan ini. Beliau adalah
salah satu konseptor dari ide menuju World Class University di University of
Hongkong. Dia duduk sebagai dekan ilmu kependidikan dan pernah menjadi wakil
rector di sana.
Saat ini Profesor Kai-Ming adalah juga direktur
filanropy di Hongkong yang bertanggung jawab untuk Fund raising di bidang
pendidikan. Lembaga ini baru berumur 8 tahun.
Walaupun masih muda, lembaga ini berhasil mengumpulkan uang 100 juta
dolar Amerika per tahun. Untuk kawasan Asia Timur ini merupakan jumlah yang fantastis. Oleh karena itu,
setengah waktu beliau disibukkan sebagai professor dan setengahnya lagi sebagai
direktur filantropi ini.
Disamping itu beliau adalah juga konsultan
untuk UNESCO, World Bank dan berbagai institusi di dunia untuk bidang
pendidikan, mulai dari Negara-negara besar sampai Negara-negara kecil. Apa yang
disampaikan oleh Profesor adalah berdasarkan pengalaman lapangan, bukan sekedar
refleksi teoritis semata
[8] Lihat Kai Ming Cheng,
Education and Market, How Could it Be Different and What Is New dalam
Comparative Education, Vol.1(2), Columbia University, 2002 dan lihat juga Kai
Ming Cheng, Learning and Society in a Post-Industrial era.
[9]Dalam model pasif ini,
pendidikan hanya dipahami sekedar transfer of knowledge. Guru sebagai deposan
yang mendepositokan pengetahuan serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa
hanya menerima, mencatat apa yang
disampaikan guru.
[10] Dalam berbagai pertemuan,
saya selalu mendorong perguruan tinggi untuk menfasilitasi dan mendorong
mahasiswanya dalam active learning ini dengan berbagai modalitas (push them to the limit). Misalnya
melalui UKM-UKM, Pusat-pusat kajian, forum-forum diskusi/ilmiah BMJ, BEMF, BEM.
Kampus menfasilitasi tokoh-tokoh berpengaruh secara periodic untuk hadir
memberikan studium generale, kolokium, seminar, lokakarya, semiloka diskusi
panel, ceramah umum, orasi ilmiah, pidato dsb di kampus mereka dengan
melibatkan mahasiswa untuk membangkitkan mimpi-mimpi mereka untuk melakukan pembelajaran
sepanjang hayat.
[11] Lihat Robert B. Barr dan
John Tagg, From Teaching to Learning, A New Paradigm for Undergraduate
Education, Change Magazine, 1995. Masing-masing penulis adalah Rober B. Barr
adalah Direktur Penelitian dan Perencanaan, sementara John Tagg adalah
Associate professor bahasa Inggris di Palomar College, San Marcos Callifornia.
[13] Mark Casson mengutip
Richard Cantilon (1697-1734) mendefenisikan Enterpreneurship sebagai “some one
who organizes and assumes the risk of a business in return for the pofits”,
lihat Mark Casson, Enterpreneurship, tt.tt.
menurut Cantilon wirausahawan adalah spesialist in taking on risk.
Mark Casson juga menjelaskan bagaimana
ekonom Amerika, Frank H Knight (1885-1972) membedakan antara resiko yang
insurable dan uncertainty.
[14]Seharusnya kesuksesan beberapa
anak muda di belakang Google, You Tube dan Face book seharusnya bisa
menginspirasi generasi muda kita. Di Amerika Serikat, 70 persen lulusan sekolah
menengah di Amerika Serikat memilih karir menjadi wirausaha dan semenjak 2006,
lebih dari 2.100 perguruan tinggi di AS menawarkan program kewirausahan. Korea
Selatan juga melakukan hal yang sama. Akibatnya Korea Selatan dalam waktu 30
tahun, produk domestk bruto (PDB) mereka dari 80 dolar pada tahun 1960an
menjadi 10 ribu dolar pada tahun 1990an dengan pertumbuhan ekonomi 8,6 per sen.
[15] kutipan dari Presentasi Dr.
Ir. Ciputra di berbagai forum yang kemudian dikutip dan disosilasikan berbagai
media.
[16] Saya setuju dengan premis
Dr. Ir. Ciputra, bahwa mereka yang paling siap dan paling mudah untuk dididik
dan dilatih kecapakan wirausaha adalah mereka yang sekarang berada di bangku
sekolah
[17] Kompas, Kamis (27/3) 2008
[18] Dalam program pelatihan ini
segmennya betul-betul generasi muda. umur tidak lebih lewat dari 30 tahun.
Tidak hanya di kelas, para peserta dalam bentuk tim dilibatkan dalam
pengalaman/praktik langsung lapangan yang mereka sebut dengan crown 1 dan II
dan trusty worthy I dan II. Pada crown I, tim (biasanya lima orang) diberi
modal untuk membuka usaha, menjual barang-barang yang dimiliki. Crown II, diberi
modal lebih banyak lagi daripada latihan pertama, tapi harus menjalin kerjasama
dengan penduduk/masyarakat. Pada trust worthy I, diberi modal lebih besar, tapi
tugas tidak berjualan, tapi menjalin kerjasama beberapa tenant. Crown II tanpa
modal sama sekali tapi hrus dapat dana dalam jumlah tertentu. Ciputra juga
memberikan pelatihan bagi dosen-dosen di perguruan tinggi.
[19]Mahasiswa yang dilibatkan
adalah dimulai dari program D1 sampai S 3 dan maksimal telah menjadi alumni
selama 5 tahun. Harus sudah punya usaha yang dijalankan minimal satu tahun
terakhir. Aspek yang dinilai adalah aspek bisnis, inovasi dan sosial.
[20]Di Amerika, incubator sudah
dikembangkan semenjak tahun 1980an, sementara itu di Indonesia sendiri, baru
mulai semenjak 1992. Inisiatif ini dikembangkan seiring ditambahnya mandat
departemen koperasi membina pengusaha kecil. Pendirian dan pengembangan
incubator ini adalah hasil kerjasama pemerintah dan perguruan tinggi. incubator
menyediakan layanan 7 s: space, shared, support, skill development, seed
capital, dan synergy. Beberapa perguruan tinggi yang telah memiliki incubator
yaitu IPB, IKOPIN, UNS, Universitas Atmajaya, Universitas Brawijaya,
Universitas Udayana, ITS, ITB, Unhas,Universitas Jember, Unsud, Universitas
Andalas, Universitas Negeri Makasar dan lainnya.
[21] Lihat laporan Global
entrepreneurship Monitor tahun 2005. Jumlah yang dimiliki oleh Indonesia belum
mencapai angka minimal untuk mewujudkan Negara makmur. Menurut D.McClelland,
sosiolog terkenal, minimal jumlah wirausahawan di suatu Negara berjumlah 2 per
sen dari jumlah penduduknya.
[22] Untuk soft skill sebetulnya
sudah dijelaskan oleh Prof. Kai Ming Cheng dengan sangat bernas seperti penulis
tuliskan dalam bagian. Dalam sebuah report yang berjudul (dirilis tahun 2006) Are They Really Ready to Work? Employers'
Perspectives on the Basic Knowledge and Applied Skills of New Entrants to the
21st Century U.S. Workforce, laporan berdasarkan
wawancara mendalam terhadap 461 pimpinan-pimpinan bisnis, disebutkan bahwa
disamping kemampuan dasar "R's" (reading, writing and arithmethic)
yang sudah menjadi syarat fiks, Soft Skill sangat menentukan penerimaan dan
kesuksesan tenaga kerja. Berbagai penelitian lain sebetulnya telah mengafirmasi
pernyataan ini, bahwa Soft Skill tidak kalah pentingnya dari Hard Skill, bahkan
NACE (National Association of Colleges and Employers) mengkuantifikasikan bahwa
pengguna tenaga kerja mencari tenaga kerja dengan kualifikasi 85 per sen adalah
soft skill dan hanya 18 persen saja dengan melihat hard skillnya.
[23] Dikutip dari Dwi Hastuti Martianto, Pendidikan Karakter: Paradigma Baru Dalam Pembentukan
Manusia Berkualitas, sebuah makalah pascasarjana di IPB, tidak diterbitkan,
2002.
Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari
diajarkannya moral knowing yaitu: 1) moral awereness, 2) knowing moral values,
3) persperctive taking, 4) moral reasoning, 5) decision making dan 6)
self-knowledge.
Moral Feeling. Terdapat 6 hal yang
merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk
menjadi manusia berkarakter yakni : 1) conscience, 2) self-esteem, 3) empathy,
4) loving the good, 5) self-control dan 6) humility.
Moral Action. Perbuatan/tindakan moral
ini merupakan hasil (outcome) dari
dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong
seseorang dalam perbuatan yang baik (act
morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu : 1)
kompetensi (competence), 2) keinginan
(will) dan 3) kebiasaan (habit).
[24] Lihat, H. Soemarno
Soedarsono, Membangun Jati Diri Bangsa, (Jakarta: PT Elex Komputindo, 2008).
Mereka menyamakan empat koridor ini dengan puisi Samuel Smiles yang berjudul
law of the harvest:
sow a thought
reap an action
sow an action
reap a
habit
sow a
habit
reap a character
sow a character
reap a destiny.
[25]
Megawangi,R.
1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.
Pustaka Mizan, Bandung. Ratna Megawangi adalah staf pengajar pada Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Institut Pertanian Bogor dan pendiri The Indonesian Heritage
Foundation (IHF), suatu badan wakaf yang bergerak dalam pendidikan
karakter. Melalui Yayasan IHF ia mengembangkan model pendidikan karakter
bagi siswa TK dengan didirikannya TK Karakter di Cimanggis dan kelompok bermain
Semai Benih Bangsa (SBB) bagi anak-anak prasekolah yang berasal dari kelurga
miskin di beberapa wilayah seperti Kota Bogor, Cimanggis Depok dan Kecamatan
Cibungbulang,Kabupaten Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar