Kebakaran hutan dan lahan sepertinya tidak mengenal
kata akhir dari bumi persada Indonesia ini.
Tentu saja, ini sangat berbahaya bagi kesehatan,
lingkungan, ekonomi, keselamatan aktivitas transportasi juga akan terus
memperburuk nama baik Indonesia di mata negara-negara tetangga. Bahkan, dunia
juga merasakan akibat-akibatnya, jika semua titik panas itu terus berubah
menjadi titik-titik api kebakaran.
Sebetulnya kebakaran hutan yang terjadi pada tahun
2006 ini penyebab utamanya tidak beranjak jauh dari faktor konversi lahan di
atas tanah gambut dengan pembakaran sebagai metode land clearing. Ini
seperti kejadian-kejadian sebelumnya. Padahal di lahan inilah mayoritas adanya
titik-titik panas. Hal ini (terutama sekali bagi pengusaha) tentu saja ditriger
oleh insentif ekonomi yang mereka bayangkan setelah mereka berhasil mengubah
hutan-hutan produksi menjadi perkebunan, tanpa hirau dengan
pertimbangan-pertimbangan ekologisnya.
Pada lahan gambut ini api membakar bahan organik
pembentuk gambut melalui pori-pori gambut secara tidak menyala sehingga yang
telihat ke permukaan hanya kepulan asap putih. Jika tidak dapat dipadamkan, api
tersebut dapat tetap menyala di bawah permukaan dalam waktu yang lama (tahunan)
dan menyebabkan kebakaran baru apabila cuaca lebih kering lagi.
Sebagian besar dari data titik api kebakaran dan
gambar satelit menunjukkan lautan api dimulai di area perusahaan-perusahaan
perkebunan kelapa sawit dan pulp, yang biasa menggunakan api untuk membersihkan
lahan. Selain itu juga di kawasan-kawasan eks HPH yang ditinggal begitu saja
oleh pemiliknya. Sementara itu kebakaran pada lahan-lahan masyarakat hanya
sedikit saja dari total keseluruhan wilayah yang terbakar.
Kebakaran-kebakaran hutan yang kita lihat saat ini
juga merupakan simpul dari memburuknya kesehatan hutan alam itu. Eksploitasi
hutan alam dalam skala masif yang telah dilakukan sejak orde baru hingga kini,
demi mengejar target perhitungan ekonomi telah menyebabkan hutan-hutan alam
rusak parah. Apa yang kita saksikan kemudian, hutan terdegradasi dan
keseimbangan ekologisnya hilang serta rentan terhadap kebakaran.
Lemahnya penanganan
Apa yang
kita lihat dan baca dari tindakan-tindakan pemerintah menangani kebakaran ini
masih parsial dan reaktif. Pada akhirnya, semua bagaikan menggantang asap,
alias sia-sia. Bermiliar dana yang diturunkan untuk membuat bom air dan hujan
buatan, menggalang pasukan Manggala Agni yang beranggotakan 1.590 orang perlu
diapresiasi. Namun ia adalah perwujudan dari sebuah solusi reaktif (Republika,
26/82006). Optimisme berlebihan pemerintah setelah rapat kabinet bidang kesra
pada 28 Agustus 2006 bahwa akan mampu memadamkan kebakaran hutan di Indonesia
dalam 5 hari tentu juga bagian dari 'bual besar' yang entah dari mana
perhitungannya. Soal pemadaman hanya hujan sungguhan yang bisa melakukannya
secara sempurna.
Pengakuan jujur seorang sekjen Departemen
Kehutanan, Boen Purnama, cukup mengafirmasi bahwa tindakan dan berfikir reaktif
tidak akan menyelesaikan masalah. "Sementara ini kami hanya bisa
mengoptimalkan dana Rp 30 miliar yang ada untuk operasional Manggala Agni dalam
menanggulangi kebakaran lahan. Kami tidak bisa memobilisasi semua personel yang
ada karena membutuhkan dana yang cukup besar, bisa sampai Rp 60 miliar,"
ujarnya (Kompas, 26/8/2006).
Pertanda lain dari paradigma reaktif, ternyata
penanggulangan kebakaran ini juga tidak mendapatkan payung hukum yang kuat dan
pasti dari undang-undang. Kita punya UU kehutanan No 41 tahun 1999; PP No
6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi;
juga UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Semua itu tidak
memberikan ketegasan, referensi, mandat secara spesifik sama sekali untuk
mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Terakhir, UU tentang perkebunan juga
tidak memuat sanksi administratif bagi perusahan yang melakukan land
clearing dengan cara bakar.
Dengan tidak adanya basis institusi yang kuat,
sedikit banyak berimbas pada kinerja penegakan hukum di lapangan. Memang
terlihat adanya penangkapan pembakar-pembakar hutan dan lahan, tapi kebanyakan
mereka adalah penduduk setempat. Sementara para pengusahanya tidak tersentuh.
Prestasi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Riau melalui Tim Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) yang telah melaporkan 36 perusahaan besar terbukti membakar
ribuan hektare hutan dan lahan di Riau misalnya, tidak pernah ditindaklanjuti
oleh kepolisian. Bahkan kasus 10 perusahaan besar pelaku pembakaran hutan dan
lahan yang telah sampai ke Kejaksaan Tinggi Riau selama empat tahun tidak
pernah diproses.
Pemecahan
Nasi sudah menjadi bubur, solusi jangka pendek
tetap perlu, karena kebakaran hutan semakin hari semakin meluas. Pemerintah
perlu mengintensifkan dan memaksimalkankan lagi tindakan-tindakan pencegahan
dengan gerak yang cepat dan tepat. Penyediaan, bahkan penambahan sumberdaya
untuk mobilisasi dan infrastruktur-infrastruktur penanggulangan kebakaran yang
dibutuhkan harus segera dipenuhi tanpa ada halangan-halangan birokrasi.
Moratorium pembukaan lahan seperti diteriakkan oleh
kalangan LSM peduli hutan Indonesia, apalagi di lahan gambut, mutlak
dilaksanakan sekarang juga tanpa bisa ditawar-tawar. Bagi pengusaha-pengusaha
hutan yang telah terbukti melakukan pembakaran hutan, mesti dijerat hukum tanpa
membeda-bedakan biar ada efek jeranya. Kita membutuhkan realisasi, bukan
wacana-wacana seperti disampaikan pejabat-pejabat teras beberapa hari yang lalu
(Republika, 26/8/2006).
Paling penting adalah solusi mendasar dan berjangka
panjang. Pemerintah pusat perlu berpikir dengan paradigma preventif, jangan
lagi reaktif tidak karu-karuan, datang musibah dulu baru berbuat. Caranya ikuti
dan penuhi saja prosedur penanggulangan bencana dengan disiplin dan komitmen
yang tinggi. Pertama, tahap pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan
sebelum terjadinya kebakaran. Kedua, penyelamatan/penanggulangan saat
terjadi kebakaran. Ketiga, rehabilitasi dan rekonstruksi setelah
kebakaran. Program pengendalian bencana kebakaran ini harus dilakukan secara
terpadu oleh seluruh aparat pemerintah dan pihak-pihak yang dilibatkan.
pernah dimuat di Republika,
Rabu, 30 Agustus 2006
Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar